Inovasi sederhana ini menjadi dasar kesuksesan On, yang kini menjadi perusahaan dengan penjualan hampir US$2 miliar tahun lalu. Pada 12 November, On melaporkan pertumbuhan pendapatan kuartal ketiga sebesar 32 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Saat ini, nilai pasar On mencapai US$17 miliar. Demikian dilaporkan Hindustan Times, dikutip Senin (25/11).
Sebelum On melenggang di pasaran, pasar pakaian olahraga global selama ini didominasi oleh dua nama besar, Nike dan Adidas. Berdasarkan data Morgan Stanley, pada 2022 kedua perusahaan ini menyumbang masing-masing 35 persen dan 16 persen dari total US$146 miliar penjualan bersih 15 merek terbesar. Namun, pangsa pasar gabungan mereka terus menurun dari 63 persen pada 2018. Merek-merek seperti New Balance, Asics, On, dan HOKA, serta perusahaan lokal di Cina seperti Anta dan Li-Ning, kini memperketat persaingan. Saham Nike bahkan anjlok 27 persen dalam setahun terakhir.
Peluang bagi para penantang
Produk sepatu, terutama sepatu lari, menjadi elemen vital bagi perusahaan pakaian olahraga. Penjualan sepatu menyumbang 68 persen dari pendapatan Nike dan 58 persen di Adidas. Menurut Sporting Goods Intelligence Europe, penjualan sepatu olahraga bermerek tumbuh hampir 50 persen dari 2018 hingga 2023, jauh melampaui pertumbuhan pasar pakaian olahraga secara keseluruhan yang hanya di bawah 20 persen. Popularitas lari, yang melonjak selama pandemi, terus berlanjut dengan rekor partisipasi di maraton New York dan London tahun ini.
Lonjakan permintaan sepatu lari memberikan peluang besar bagi merek baru. Rendahnya hambatan masuk industri, seperti produksi yang sebagian besar dialihdayakan ke pemasok di Asia Timur dan akses mudah melalui media sosial, mempermudah mereka bersaing. “Mendirikan merek sepatu lari relatif mudah,” ujar Monique Pollard dari Citigroup.
Desain inovatif juga menjadi senjata utama para penantang. Hoka dikenal dengan sol tebalnya, sementara On menggunakan teknologi canggih seperti serat termoplastik tunggal dalam sepatu marathon terbaru mereka. Sebaliknya, Nike disebut tertinggal dalam penelitian dan pengembangan, sementara Adidas terlalu mengandalkan lini fesyen seperti sepatu Samba.
Masa depan persaingan pasar
Nike dan Adidas menghadapi kritik atas strategi distribusi mereka. Kedua perusahaan ini mengurangi kerja sama dengan pengecer besar untuk fokus pada penjualan langsung melalui toko, situs web, dan aplikasi mereka. Namun, langkah ini memberi ruang bagi merek baru untuk masuk. “Merek harus berada di tempat pelanggan ingin berbelanja,” ujar Martin Hoffman, co-CEO On.
Kini, Nike dan Adidas berupaya memperbaiki langkah. Nike meluncurkan produk baru dan mengganti CEO-nya, sementara Adidas mengakhiri lini Yeezy dan menjalin kembali kerja sama dengan pengecer. Sementara itu, merek-merek penantang mulai merambah pasar fesyen dengan margin keuntungan lebih tinggi. On, misalnya, telah meluncurkan koleksi bersama Loewe dan menggandeng Zendaya untuk kampanye iklan.
Namun, sejarah menunjukkan hanya sedikit merek yang berhasil membangun lini fesyen sukses dari sepatu lari. Apakah para penantang akan bertahan atau kehilangan pijakan? Waktu yang akan menjawab.