Jakarta, FORTUNE - Seni memiliki daya tarik tersendiri bagi para kolektor. Mereka rela merogoh kocek dalam demi mendapatkan seni incarannya. Bahkan untuk estimasi harga yang berada di atas rumah lelang.
Contohnya saja, pada bulan lalu, debut lelang karya Reggie Burrows Hodges bertajuk “For the Greater Good” berhasil terjual US$606.685 atau lebih dari Rp8,6 milliar—15 kali lipat ketimbang harga perkiraannya.
“Orang-orang tak peduli jika mereka harus membayar US$1 juta untuk karya yang dijual seharga US$60.000. Mereka memiliki aturan sendiri,” ujar Ketua Departemen Seni 20/21 Rumah Lelang Christie’s, Alex Rotter, dikutip dari Fox Business, Jumat (12/11).
Tak ayal, sejumlah rumah lelang dunia berani memprediksi harga jual karya seni yang tinggi untuk penjualan dalam dua pekan ke depan.
Bidik Rekor Penjualan Baru
Sejak Selasa (9/11), rumah lelang utama global—Sotheby’s, Christie’s, dan Phillips—menargetkan dapat menjual karya seni senilai US$1,6 miliar (hampir Rp22,8 triliun) hingga dua minggu ke depan. Hal sebegitu belum pernah terwujud dalam tiga tahun terakhir.
Mereka memperkirakan setidaknya 15 karya akan terjual seharga di atas US$20 juta (sekitar Rp284,5 miliar) untuk contoh seni buatan Alberto Giacometti, Mark Rothko, dan Vincent van Gogh.
Mengoleksi Seni di Mata Orang Berada
Di tengah pandemi 2020, jutawan dunia justru bertambah 5,2 juta. Secara global, catatan tersebut memperbanyak jumlah kaum kaya menjadi 56,1 juta, menurut laporan Credit Suisse. Golongan tersebut menginvestasikan uang dalam berbagai bentuk, termasuk dengan mengoleksi karya seni.
Mitra pengelola Art Fiduciary Advisors sekaligus mantan presiden Christie’s, Doug Woodham, mengatakan, “jika portofolio saya naik 30 persen, masuk akal (bagi saya) mengeluarkan uang secara royal untuk sebuah karya seni."
Satu contoh kolektor seni dari kalangan pengusaha di Indonesia adalah Haryanto Adikoesoemo, Presiden Direktur PT AKR Corporindo Tbk. (AKRA). Dia telah mengoleksi berbagai karya sejak 1990-an. Bahkan, dia sampai membuka Museum MACAN pada 2017.
Dalam sesi wawancara dengan Fortune Indonesia bulan lalu, Haryanto mengatakan memperoleh banyak manfaat dari mengoleksi seni. Baik mengasah pemikiran kreatif, menumbuhkan toleransi, maupun bermanfaat sebagai investasi.
“Kita beli tahun ‘90-an, dibandingkan hari ini harga lukisan tersebut bisa berlipat kali ganda,” ujarnya.
Faktor Pendorong Ledakan Koleksi Seni
Beberapa jutawan pun memutuskan mengoleksi seni akibat ketakutan terhadap perubahan pajak yang dicanangkan oleh Presiden Joe Biden beserta faktor pendorong lain. Itu menurut Josh Baer, Founder dan CEO komunitas akselerator, Capital Factory.
“Itu adalah akselerator, tapi itu hanya satu pendorong di atas akselerator lainnya. Saya belum pernah melihat (fenomena) seperti ini sebelumnya,” katanya.
Rentetan inovasi karena pandemi juga memudahkan karya seni lebih mudah dijajakan secara daring. Para pembeli generasi muda di dunia kini dapat memburu karya seni favorit di ruang lelang maya, walau belum pernah menghadiri lelang atau pameran besar sama sekali.
Wakil Presiden Layanan Seni Bank of America, Dana Prussian, berkata, “kami melihat model bisnis berinovasi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi selama lebih dari 10 tahun.”
Di tiga rumah lelang besar, penjualan seni secara daring saja telah mencapai US$1 miliar pada 2020. Padahal, pada tahun sebelumnya, penjualan hanya mencapai US$168 juta berdasarkan laporan Deloitte Private Art & Finance.