Jakarta, FORTUNE – Kondisi geopolitik antara Rusia dan Ukraina kian memanas. Hal ini dikhwatirkan turut memicul kenaikan harga komoditas, seperti minyak dunia yang perlahan-lahan mulai mendekati US$100 per barrel.
Senior Economist dari Samuel Sekuritas Indonesia (SSI), Fikri Permana mengatakan pemerintah harus mewaspadai dampak lonjakan harga minyak terhadap nilai impor minyak yang akan semakin tinggi. Apalagi, Indonesia merupakan net importir minyak mentah dunia.
“Pada Januari ketika harga minyak masih di sekitar US$80-an per barel, net ekspor Indonesia itu sudah tinggal US$2 miliar, apalagi di bulan ini. Pertama, harga minyak naik dan ada larangan ekpor di tengah bulan pertama. Jadi, mungkin dampaknya akan membuat neraca dagang kita defisit,” kata Fikri kepada Fortune Indonesia, Senin (14/2).
Gangguan perdagangan dunia
Konflik Rusia dan Ukraina memang tidak berdampak langsung kepada Indonesia. Namun, kehawatiran dunia akan terjadinya perang akan mempengaruhi perdagangan dunia, serta masalah distribusi barang secara global yang akhirnya berdampak pada pemenuhan kebutuhan barang di Indonesia.
“Kepercayaan konsumen pada pasar global akan turun, artinya konsumen akan relatif berhati-hati pada saat konsumsi. Padahal, indeks kepercayaan konsumen Indonesia baru saja pulih,” ujarnya.
Harga minyak dunia mencapai level tertinggi
Harga minyak dunia mencapai level tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Hal ini terjadi di tengah adanya wacana invasi Rusia ke Ukraina, yang dinilai dapat mengganggu ekspor di pasar global.
Melansir Reuters, Senin (14/2), minyak mentah berjangka Brent berada di US$95,56 per barel pada 02.35 GMT, naik US$1,12 atau 1,2 persen mendekati titik tertinggi US$96,16 yang dicapai pada Oktober 2014.
Sementara, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik US$1,28 atau 1,4 persen, menjadi US$94,38 per barel, hanya beberapa poin mendekati US$94,94 yang dicapai pada September 2014.
Pertumbuhan ekonomi global yang makin terbebani
Sementara itu, komentar Gedung Putih mengenai kemungkinan invasi yang dapat terjadi kapan saja, menimbulkan berbagai dampak beruntun bagi pasar global. Reuters mencatat, bahwa pada Senin (14/2), saham Asia merosot tajam dipicu kehati-hatian investor.
Pasar telah mengalami kontraksi sejak inflasi AS yang akhirnya memicu spekulasi bahwa bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin penuh pada bulan Maret.
Kepala Ekonom JP Morgan, Bruce Kasman, mengatakan bahwa tekanan inflasi secara luas menimbulkan tekanan lebih awal dari perkiraan, menuju penerapan kebijakan restriktif di seluruh dunia.
"Tapi kami tidak berharap itu diterjemahkan ke dalam tindakan agresif di bulan Maret," ucap Bruce. "Sebagian, ini mencerminkan ketidakpastian yang terkait Omicron, ketegangan geopolitik, dan tekanan daya beli dari inflasi yang tinggi—semuanya sangat membebani pertumbuhan kuartal saat ini."