Jakarta, FORTUNE - PT Mandiri Sekuritas memperkirakan pasar obligasi akan kembali diuji resiliensinya pada 2022. Sejumlah sentimen global akan membayangi pergerakkan pasar surat utang, salah satunya kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed.
Head of Fixed Income Research PT Mandiri Sekuritas, Handy Yunianto mengatakan meskipun sudah mencatatkan imbal hasil (return) hampir 30% di tahun 2019 dan 2020, pasar obligasi masih berhasil membukukan kinerja positif di tahun lalu dengan pertumbuhan 5,4 persen.
Berdasarkan perhitungan indeks return obligasi pemerintah oleh Bloomberg, di tengah gejolak pengurangan kebijakan stimulus moneter oleh The Fed atau tapering serta kemunculan varian baru Covid-19 Omicron turut menekan pemulihan ekonomi global, obligasi masih memiliki ketahanan.
"Tak hanya itu, terjadinya kenaikan inflasi karena disrupsi pasokan dan kenaikan harga-harga komoditas turut menambah risiko tekanan," kata Handy dalam paparan virtual, Rabu (23/2).
Tiga faktor risiko di 2022
Handy mengungkapkan, untuk tahun ini setidaknya ada tiga risiko besar yang menghantui pasar obligasi, seperti :
1) Normalisasi suku bunga oleh the Fed.
2) Ekspektasi outlook pelemahan ekonomi di Cina
3) Perkembangan varian baru Covid-19.
"Jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang atau emerging market, posisi Indonesia relatif baik. Hal ini tercermin dari vulnerability index yang disusun oleh Mandiri Sekuritas, yang dhihitung berdasarkan beberapa indikator makro variables seperti currrent account balance, FX reserve, Inflasi, public debt dan external public debt, persentase ekspor ke Cina dan vaksinasi," katanya.
Skor yang negatif besar menandakan semakin rentan (vulnerable) negaranya, sementara jika skornya semakin tinggi berarti semakin aman. Indonesia ada di peringkat 10 yang terbaik dari 25 negara berkembang.
Potensi pasar obligasi pasca-pandemi
Hendy mengatakan, pihaknya melihat ada beberapa perkembangan positif di pasar obligasi setelah pandemi.
Pertama, ketergantungan asing semakin berkurang dimana porsi asing di pasar obligasi yang terus turun dibawah 20% dari posisi tertinggidi atas 40%. Selain itu, investor asing yang berinvestasi di obligasi merupakan investor jangka panjang – tercermin dari porsi bank sentral asing di pasar obligasi Indonesia meningkat menjadi 26% dari sebelumnya hanya 17%
Kedua, dukungan dari investor domestik terus meningkat dan semakin beragam, terutama permintaan dari institusional nonbank ataupun dari retail. Hal ini juga didukung oleh adanya penurunan pajak bunga obligasi dari 15% menjadi 10%. Selain itu, likudiitas yang melimpah tercermin dari LDR yang terus turun, mendorong permintaan obligasi oleh investor lokal terus meningkat.
Ketiga, secara valuasi, bond yield Indonesia juga memberikan real yield yang paling tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya.
Kebijakan prudent fiskal yang akan mengembalikan defisit anggaran maksimal 3% terhadap PDB di tahun 2023, juga akan positif buat pasar obligasi karena bisa menurunkan suplai Surat Berharga Negara (SBN) ke depannya.
"Kesimpulan pasar obligasi akan kembali diuji resiliensinya. Kami perkirakan ada potensi kenaikan yield SBN tahun ini, tapi kami melihat ini merupakan peluang bagi investor untuk mendapatkan entry level yang lebih bagus," kata Hendy.
Jika Indonesia bisa terus memperbaiki kondisi eksternal, menjaga neraca pembayaran tetap positif, menjaga inflasi tetap terkendali, diperkirakan dalam jangka panjang arah yield SBN untuk turun lebih rendah lagi di bawah 6% akan sangat terbuka.