Jakarta, FORTUNE - Emiten sektor barang konsumsi diperkirakan mampu membukukan kinerja keuangan lebih baik pada 2023 dibandingkan tahun ini. Meski demikian, sejumlah risiko masih tetap membayangi, seperti depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) karena sebagian besar produsen sektor ini masih mengimpor bahan baku.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Christine Natasya mengatakan kinerja perusahaan konsumen dalam negeri terkait erat dengan harga komoditas global, terutama
raw material. Sejak kuartal III 2021 hingga kuartal II 2022, Mirae mencatat kenaikan harga signifikan di beberapa komoditas. Kenaikan tersebut memberikan tekanan terhadap margin laba perusahaan barang konsumsi, meskipun harga komoditas perlahan melemah di kuartal III 2022.
"Kami percaya bahwa kondisi tersebut dapat secara bertahap akan membaik di 2023 dibandingkan 2022 seiring dengan pemulihan ekonomi yang seharusnya bisa menjadi pertanda positif untuk penjualan perusahaan barang konsumsi," katanya dalam riset dikutip, Selasa (6/12).
Sementara itu, normalisasi harga komoditas diperkirakan bakal diikuti dengan rata-rata harga jual (average selling price/ASP) yang lebih tinggi di tengah kenaikan inflasi akan menghasilkan margin bagi perusahaan FMCG.
Menurutnya, meski prospek komoditas harga sulit diprediksi, harga komoditas diyakini menurun dibadningkan 2022 karena kesenjangan penawaran-permintaan kemungkinan menyusut.
"Meski masih terdapat persediaan lama saat harga komoditas masih tinggi, kami perkirakan perusahaan FMCG mulai membukukan margin yang lebih baik di kuartal II 2023," ujarnya.
Kenaikan harga emiten barang konsumsi
Analis perkebunan Mirae memperkirakan harga rata-rata CPO tahun depan bakal turun menjadi MYR3.900 per ton dibandingkan MYR5.276 per ton rata-rata secara year to date 2022 seiring berakhirnya La Nina. Hal ini menyebabkan normalisasi produksi. Meskipun harga CPO diprediksi kembali normal, perusahaan barang konsumsi ini diharapkan terus melakukan upaya untuk memitigasi tingginya harga komoditas.
Beberapa inisiatif yang bisa dilakukan antara lain:
1) Meneruskan kenaikan biaya input kepada pelanggan
2) Melakukan efisiensi biaya terutama pada level operasional
Di sisi lain, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar kemungkinan berisiko yang menyebabkan kerugian terhadap beberapa perusahaan yang mengimpor bahan baku.
"Dengan demikian, kami memperkirakan depresiasi Rupiah akan terjadi risiko penurunan margin laba perusahaan di tengah potensi penurunan harga komoditas," kata Christine.
Meski margin beberapa perusahaan konsumen mungkin masih lebih rendah dari tingkat margin kotor tahun lalu, untuk emiten seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), diperkirakan masih mampu mempertahankan margin kotor pada 2023 relatif stabil dibandingkan tahun ini.
Pangsa pasar
Menurut analis, perusahaan FMCG dengan ekuitas merek akan lebih disukai karena memiliki kekuatan harga. Perusahaan kebutuhan pokok dengan brand equity yang memiliki target pasar kelas masyarakat berpenghasilan menengah ke atas relatif lebih diuntungkan dengan faktor harga tersebut.
Pada 2023, barang konsumsi akan tumbuh stabil seiiing pemulihan permintaan yang terus berlanjut dan mobilitas masyarakat. "Kami perkirakan perusahaan konsumen yang mempertahankan pangsa pasar dengan cukup baik akan tetap diuntungkan," ujarnya.
Perusahaan FMCG yang mampu mempertahankan pangsa pasar relatif lebih baik dalam meneruskan kenaikan biaya produksi ke harga jual kepada pelanggan. Ambil contoh, mayoritas produk KLBF yang memimpin pangsa pasar terbesar di segmennya, memiliki fleksibilitas dalam menaikkan harga jual.
Bogasari milik PT Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) juga merupakan pemimpin pasar; karenanya mampu meneruskan kepada konsumen. Berkat harga jual produk ICBP yang solid dalam bisnis mi instan, kenaikan harga agresif serta pertumbuhan volume penjualan yang terjaga dengan baik, secara bersamaan membuat perusahaan mampu menghadapi tekanan inflasi dan mempertahankan pangsa pasarnya.
Jika melihat ke belakang, pada 2007- 2008, harga mi instan ICBP meningkat lima kali lipat selama periode tersebut dengan kenaikan ASP kumulatif sebesar 40 persen dan 25 persen pada 2012-2013 Selain itu, dengan melemahnya harga komoditas baru-baru ini, diperkirakan mendorong peningkatan bertahap terhadap margin mi ICBP.
Outlook netral
Secara keseluruhan, Mirae Sekuritas masih mempertahankan outlook netral pada sektor barang konsumsi. Hal ini disebabkan adanya optimisme ekonomi yang lebih baik dan kegiatan masyarakat yang akan lebih tinggi pada tahun depan. Ini tercermin dari indeks kepercayaan konsumen dan ekspektasi pertumbuhan berkelanjutan pada perkiraan PDB Indonesia 2023, termasuk pertumbuhan konsumsi swasta.
Kenaikan upah minimum 2023 juga diperkirakan akan mendukung pemulihan daya beli masyarakat berpendapatan menengah ke bawah di tengah meningkatnya inflasi.
Meski demikian, risiko depresiasi rupiah terhadap dolar AS tetap ada karena sebagian besar perusahaan FMCG mengimpor bahan mentah. "Secara keseluruhan, kami memilih perusahaan yang memiliki pangsa pasar stabil dan relatif lebih mampu meneruskan biaya untuk kekuatan harga dengan kekuatan brand mereka," katanya.