Jakarta, FORTUNE – Emiten farmasi pelat merah, PT Kimia Farma Tbk (KAEF), menemukan adanya dugaan pelanggaran integritas penyediaan data laporan keuangan yang terjadi pada anak usahanya, yaitu PT Kimia Farma Apotek (KFA).
Manajemen KAEF menemukan dugaan pelanggaran integritas terhadap penyediaan data laporan keuangan KFA, yang ujung-ujungnya mempengaruhi pos pendapatan, harga pokok penjualan (HPP), dan beban usaha.
Lalu, hal tersebut turut berkontribusi signifikan terhadap kerugian yang dicatatkan pada tahun lalu. Kenaikan beban usaha pada 2023 juga meningkat secara dominan.
“Menindaklanjut hal ini, KAEF bersama dengan Kementerian BUMN dan PT Bio Farma (Persero) melakukan pembenahan di KFA. Saat ini Manajemen KAEF tengah menelusuri lebih lanjut atas dugaan tersebut melalui audit investigasi yang dilakukan oleh pihak independen,” kata Direktur Utama KAEF, David Utama, dalam keterangannya kepada Bursa Efek Indonesia, yang dikutip Selasa (18/6).
David mengatakan tidak akan memberikan toleransi jika dugaan tersebut terbukti dan akan mengambil tindakan tegas kepada pihak-pihak yang terlibat.
Pihaknya pun akan secara transparan melaporkan hasil investigasi ini kepada pemegang saham dan otoritas pasar modal Indonesia.
“Sistem pengendalian internal dan audit pihak independen merupakan bentuk komitmen manajemen untuk dapat menyajikan informasi yang akuntabel serta tidak menyembunyikan informasi atau fakta material apa pun,” ujar David.
Dia menambahkan saat ini Kimia Farma akan tetap berkonsentrasi pada peningkatan kinerja. Selain itu dia optimistis bahwa pembenahan internal secara transparan yang dilakukan manajemen akan menjadi fundamental bisnis yang baik.
Pendapatan naik tipis, tapi kerugian melonjak
Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2023, kerugian tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas usaha sepanjang tahun lalu meningkat menjadi Rp1,48 triliun dari Rp190,4 miliar pada tahun sebelumnya.
Meskipun demikian, KAEF masih membukukan pertumbuhan dalam penjualan bersih dengan Rp9,96 triliun, naik 7,93 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp9,23 triliun.
Namun, beban pokok penjualan mengalami kenaikan 25,83 persen menjadi Rp6,86 triliun, dibandingkan dengan Rp5,45 triliun pada tahun sebelumnya. Akibatnya, laba bruto perusahaan menurun menjadi Rp3,10 triliun dari sebelumnya Rp3,77 triliun.
Salah satu alasan penurunan laba KAEF adalah adanya inefisiensi operasional. Pasalnya, kapasitas 10 pabriknya tidak sejalan dengan pemenuhan kebutuhan bisnis perseroan. Sebagai langkah untuk meningkatkan efisiensi, perseroan berencana untuk mengoptimalisasi fasilitas produksi melalui penataan 10 pabrik menjadi 5 pabrik.