Jakarta, FORTUNE – Ekonom dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, Bambang Brodjonegoro, menilai serangan Iran ke Israel pada Sabtu (13/4) akan mempengaruhi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (Ihsg) di Indonesia dan rupiah, kendati tidak langsung.
"Kita lihat IHSG sebelum ramai Iran-Israel, masalah utamanya adalah tingkat suku bunga tinggi yang lebih berpengaruh pada IHSG. Jika ada keputusan Fed yang tidak sesuai market, maka terjadi capital outflow. Di Indonesia instrumennya ada dua, yaitu SBN maupun saham,” kata dia dalam diskusi virtual Eisenhower Fellowships Indonesia Alumni Chapter x IDN Times, Senin (15/4).
Bambang mengatakan memanasnya konflik di Timur Tengah membuat bank sentral AS akan menahan suku bunganya. Hal ini yang bakal mempengaruhi pergerakan IHSG.
Dia menjelaskan pemegang saham IHSG yang termasuk investor asing terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok jangka panjang dan jangka pendek atau hit and run.
Dalam kondisi global saat ini, kelompok jangka pendek akan memindahkan asetnya ke instrumen yang lebih aman atau safe haven seperti dolar AS atau obligasi AS.
“Jika dilihat sebab akibatnya Iran-Israel bersitegang, maka dolar AS dan US treasury bond akan dicari terus. Itu menyebabkan tekanan IHSG karena orang memilih dolar AS,” ujarnya.
Kendati demikian, Bambang berharap dengan banyaknya emiten besar yang membagikan dividen, tekanan terhadap IHSG dapat diredam.
Pelemahan rupiah dan terpangkasnya surplus neraca dagang
Sedangkan untuk rupiah yang tengah mengalami pelemahan, pemerintah Indonesia menjalankan sejumlah upaya, seperti melakukan intervensi di pasar agar fluktuasinya tidak terlalu tajam. Dengan kondisi seperti saat ini, kenaikan suku bunga oleh Bank Indonesia juga tidak akan memberikan banyak pengaruh untuk menguatkan rupiah.
"Tapi dari sejak kapan pun Bank Indonesia tidak dalam posisi untuk mengejar target tertentu, karena itu akan costly dari segi pemakaian cadangan devisanya. Jadi, karena memang fenomenanya yang terjadi adalah dolar AS menguat di semua mata uang sebagai akibat Fed yang menahan tidak memotong dan menurunkan suku bunga sampai kepada rapat Federal Reserve yang berikutnya," ujarnya.
Bambang mengatakan hal yang perlu diwaspadai selanjutnya di Indonesia berkenaan dengan konflik di Timur Tengah adalah kemungkinan defisit neraca berjalan yang melebar, sebagai akibat dari surplus neraca perdagangan yang kian menipis.
"Dengan melemahnya rupiah, ditambah dengan terganggunya jalur distribusi yang dekat dengan daerah Arab dan Iran, justru current account deficit kita bisa melebar. Ini harus dijaga," katanya.
Saat ini rupiah memang tengah melemah dan melebihi Rp16.000 per dolar AS