Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung memberi sinyal akan penurunan kembali Suku Bunga Acuan BI-Rate dalam waktu dekat. Ia menjelaskan bahwa ketidakpastian global yang mulai mereda memberikan ruang terbuka untuk penurunan BI-Rate.
“Tentu saja kami terus mencermati apakah ada ruang penurunan suku bunga lebih lanjut,” kata Juda dalam peluncuran Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) Nomor 43, Rabu (2/10).
Ia menggarisbawahi, dalam dua tahun terakhir, perekonomian dan keuangan global ditandai ketidakpastian yang tinggi, seperti Inflasi memburuk diberbagai negara maju dengan dikuti kenaikan suku bunga The Fed pada Maret 2022.
Saat ini, dalam pantauan BI, ketidakpastian global mulai mereda, sejalan dengan terus melambatnya inflasi di berbagai negara. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, inflasi diperkirakan akan mendekati sasaran sebesar 2 persen.
Kemudian dari sisi domestik, penguatan rupiah terus terlihat dalam tren positif. Diikuti inflasi Indonesia pada September 2024 sebesar 1,84 persen secara tahunan (year on year/yoy) dan terjadi deflasi 0,12 persen secara bulanan (month to month/mtm).
Dari kondisi tersebut, Juda menekankan tren ketidakpastian global akan terus mereda dari berbagai indikator tekanan ekonomi.
“Rupiah menguat yang kemudian buka ruang penurunan suku bunga. Di sektor perbankan juga ketahanan permodalan yang tinggi, likuiditas yang memadai dan risiko kredit yang terkendali juga terus mendorong pertumbuhan kinerja intermediasi perbankan yang hingga Agustus kemarin di 11,4 persen yoy,” ujar Juda.
Namun demikian, Juda mewanti-wanti tantangan stabilitas sistem keuangan ke depan. Ada tiga tantangan yang perlu diperhatikan.
Pertama, terkait perekonomian global. Siklus keuangan global yang melonggar perlu dimanfaatkan untuk mendorong pembiayaan ekonomi. Indonesia juga perlu terus menjaga antisipasi akan risiko geopolitik.
Kedua, terkait risiko operasional dari digitalisasi keuangan. Hal ini terlihat dari ancaman meningkatnya fraud dan ancaman siber yang merusak reputasi dan kepercayaan masyarakat.
Ketiga, adanya risiko perubahan iklim. Risiko ini mengarah pada risiko transisi yang semakin nyata, seperti penurunan nilai aset berbasis energi fosil, ataupun kesulitan pendanaan akibat aktivitas bisnis yang bersifat brown.