Jakarta, FORTUNE - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus US$2,48 miliar atau turun US$0,76 miliar secara bulanan (month-to-month), lantaran nilai ekspor yang mencapai US$24,41 miliar, dan nilai impor US$21,94 miliar.
Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mengatakan neraca perdagangan Indonesia dengan begitu telah mencatatkan surplus selama 54 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
"Surplus Neraca Perdagangan bulan Oktober 2024 relatif lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya dan juga bila dibandingkan bulan yang sama tahun lalu," ujarnya dalam konferensi pers, Jumat (15/11).
Kondisi surplus Oktober 2024 ditopang oleh surplus komoditas nonmigas, dengan penyumbang surplus utama berasal dari komoditas bahan bakar mineral (HS27), lemak dan minyak hewan/nabati (HS15), serta besi dan baja (HS72).
"Pada saat yang sama, neraca perdagangan komoditas migas tercatat defisit sebesar US$2,32 miliar, dengan komoditas penyumbang defisit berasal dari hasil minyak dan minyak mentah," ujarnya.
Berdasarkan negara mitra, surplus terbesar Indonesia berasal dari India (US$1,56 miliar), Amerika Serikat (US$1,52 miliar), dan Filipina (US$0,80 miliar).
Untuk perdagangan dengan India, surplus lebih banyak didorong oleh lemak dan minyak hewan/nabati (HS15), bahan bakar mineral (HS27), serta besi dan baja (HS72).
Sedangkan dengan Amerika Serikat, surplus terbesar terjadi pada komoditas mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS85), alas kaki (HS64), pakaian dan aksesori dalam bentuk rajutan (HS61).
"Dengan Filipina, surplus terbesar terjadi pada komoditas HS87, yaitu kendaraan dan bagiannya; HS27 bahan bakar mineral; dan HS21 berbagai makanan olahan," katanya.
Sementara itu, Indonesia juga mengalami defisit perdagangan dengan beberapa negara. Tiga terbesar di antaranya adalah Tiongkok (US$0,77 miliar), Brasil (US$0,39 miliar), dan Thailand (US$0,34 miliar).
Dengan Tiongkok, defisit didorong oleh komoditas mesin, peralatan elektrik serta bagiannya (HS84), serta kendaraan dan bagiannya (HS87). Kemudian, dengan Brasil, defisit dikontribusikan oleh gula dan kembang gula (HS17), ampas industri makanan (HS23), serta kapas (HS52).
"Dengan Thailand, asal defisit terbesar adalah pada komoditas HS84, yaitu mesin dan peralatan mekanis serta bagiannya; HS87 kendaraan dan bagiannya; serta HS30 untuk plastik dan barang dari plastik," ujarnya.