Jakarta, FORTUNE - PT Garuda Indonesia (Persero) mencatatkan pendapatan usaha US$2,94 miliar pada 2023, lebih tinggi ketimbang capaian pada tahun sebelumnya yang sebesar US$2,1 miliar.
Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, mengatakan pendapatan usaha tersebut didorong oleh pendapatan penerbangan yang naik 41 persen menjadi US$2,37 miliar dari sebelumnya US$1,68 miliar pada 2022.
Ini sejalan dengan peningkatan pergerakan masyarakat yang menggunakan transportasi udara pada fase pascapandemi.
Pendapatan penerbangan berjadwal penumpang sendiri tumbuh 5 persen dari tahun sebelumnya menjadi US$2,21 miliar.
Selaras dengan penerbangan berjadwal, pendapatan penerbangan tidak berjadwal Garuda tumbuh hingga 65 persen atau US$288,03 juta dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai US$174,81 juta.
Secara terperinci, pendapatan penerbangan Haji pada 2023 menyumbang kenaikan signifikan hingga 145 persen menjadi US$235,17 juta, dibandingkan tahun sebelumnya US$92,48 juta.
Kemudian, pendapatan lain-lain naik 15 persen dari kinerja 2022 menjadi US$270,58 juta.
"Garuda Indonesia berhasil membukukan laba tahun berjalan sebesar US$251.996.580 yang semakin memperkuat fundamen positif kinerja usaha Garuda Indonesia pasca merampungkan restrukturisasi di akhir tahun 2022," ujar Irfan dalam keterangan resminya yang dikutip Senin (1/4).
Implementasi aksi strategis korporasi dalam upaya mempercepat pemulihan kinerja pascarestrukturisasi akan terus dilakukan. Dia berharap landasan entitas bisnis Garuda kian kokoh secara grup beriring dengan pertumbuhan pergerakan penumpang.
“Sepanjang tahun 2023, Garuda Indonesia Group berhasil mencatatkan kinerja operasional melalui pertumbuhan jumlah angkutan penumpang hingga 34 persen, yakni mencapai 19.970.024 penumpang dibandingkan pada periode sebelumnya 14.848.195 penumpang. Dalam capaian tersebut, Garuda Indonesia berhasil mengangkut penumpang sebanyak 8.291.094 dan Citilink sebanyak 11.678.930 penumpang,” kata Irfan.
Sejalan dengan perampungan restrukturisasi Garuda pada akhir 2022, maskapai penerbangan tersebut mencatatkan pendapatan lain-lain bersih sebesar US$344,79 juta, yang salah satunya disumbang dari penerapan pembalikan penurunan nilai aset non-keuangan (reversal impairment asset) dengan nilai US$198 juta.
Selain penerapan pembalikan penurunan nilai aset non-keuangan, dalam hal pembukuan laba buku juga turut mencatat keuntungan atas penarikan kembali obligasi senilai US$63.88 juta.
Ini dilaksanakan pada Desember 2023 lalu melalui pembelian kembali sebagian Obligasi Baru 2022 dengan selisih nilai tercatat dan jumlah yang dibayarkan dibukukan sebagai keuntungan pembelian kembali obligasi.
“Aksi korporasi pembelian kembali sebagian obligasi tersebut menjadi salah satu proses pemenuhan kewajiban restrukturisasi, di mana dalam hal ini para pemegang Surat Utang dan Sukuk mayoritas merupakan para kreditur Garuda yang mengikuti tahapan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)," ujarnya.
Pemenuhan kewajiban
Langkah Restrukturisasi Utang dimulai sejak akhir 2021 dan mampu membawa perusahaan untuk bangkit kembali setelah menerima persetujuan dari kreditur—yang tertuang dalam perjanjian homologasi pada 2022 atas penurunan nilai utang hingga 50 persen, yakni dari nilai utang yang sebelumnya US$10,9 miliar menjadi US$4,79 miliar.
Hingga saat ini, emiten bersandi GIAA tersebut juga terus melakukan pemenuhan kewajiban pembayaran utang melalui sejumlah skema.
Pertama, melakukan pelunasan bertahap melalui arus kas operasional. Kedua, melakukan konversi utang menjadi ekuitas baru, surat utang baru, tagihan utang lokal dan sukuk baru. Ketiga, melakukan konversi utang jangka panjang untuk kreditur bank, BUMN dan anak perusahaan. Terakhir, melunasi sebagian surat utang baru dan sukuk baru melalui tender offer.