Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan hampir semua pemberitaan ihwal bursa-bursa negara maju pada 31 Desember 2022 menyebutkan 2022 merupakan tahun yang sangat brutal. Pasalnya, inflasi yang tinggi berimbas pada peningkatan suku bunga dan membuat investor pasar modal lari ke instrumen yang lebih aman.
“Lebih dari US$30 triliun kapitalisasi hilang pada tahun 2022, sehingga investor di global bukan create value tapi losing value,” ujarnya saat memberi sambutan dalam peresmian pembukaan perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (2/1).
Namun, pasar saham Indonesia menunjukkan kondisi berbeda usai meraih sejumlah capaian. Beberapa di antaranya adalah rekor tertinggi sepanjang masa (all time high) perdagangan pada pekan terakhir 2022, yakni Rp9.600 triliun, serta kapitalisasi pasar yang tumbuh 15,18 persen (ytd) menjadi Rp9.509 triliun.
Kemudian, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menyentuh titik tertinggi sepanjang masa, yakni 7.318,01 pada 13 September 2022. Indeks acuan saham juga naik 4,09 persen ke level 6.850,52 per 28 Desember 2022—melampaui pertumbuhan bursa di Asia Tenggara lain, kecuali Singapura.
“Kami sangat berharap dengan capaian yang tadi telah disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK melalui BEI dan para pelaku bursa untuk pertama menutup tahun 2022 dengan sangat resilient dengan tantangan yang sungguh tidak mudah, dan ini adalah bekal yang bagus untuk memasuki tahun 2023," katanya.
Tahun yang tidak kalah menantang
Menurutnya, 2023 kemungkinan bakal menjadi tahun yang tidak kalah menantang dari 2022. Sebab, pemerintah dan otoritas sektor keuangan harus berjibaku dalam menghadapi inflasi global, mencegah resesi, dan meningkatkan pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
Dengan begitu, akuntabilitas dan kredibilitas pasar modal perlu diitopang dengan pelaksanaan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang telah ditetapkan.
Ia berharap UU tersebut memungkinkan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beanggotakan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjalankannya secara konsisten dalam membangun fondasi sektor keuangan yang kuat, stabil, kredibel, akuntabel, dan dipercaya.
"Ini adalah tugas yang tidak mudah, namun harus dilakukan. Ini juga merupakan tugas untuk menggapai potensi capital market yang begitu besar di Indonesia," katanya.
Dengan adanya UU PPSK, dia berharap akses jasa keuangan dapat diperluas, demikian pula sumber pembiayaan jangka panjang untuk pembangunan, terutama infrastruktur.
Daya saing dan efisiensi bursa diharapkan juga meningkat melalui "penerapan prinsip aktivitas, risiko dan regulasi yang setara," ujarnya.