Jakarta, FORTUNE - Bank Indonesia (BI) mencatat aliran modal asing yang keluar dari pasar keuangan domestik (net outflows) mencapai US$2 miliar hingga 19 Juli 2022. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, kondisi ini disebabkan tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global di awal triwulan III 2021.
Padahal sebelumnya investasi portofolio pada triwulan II-2022 telah mencatat aliran modal asing masuk bersih (net inflow) sebesar US$200 juta. "Ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi dan mengakibatkan terbatasnya aliran modal asing serta menekan nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia," ungkap Perry dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur bulan Juli 2022, Kamis (21/7).
Meski demikian, kata Perry, kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diprakirakan tetap baik, di tengah meningkatnya tekanan terhadap arus modal. Transaksi berjalan triwulan II 2022 diprakirakan mencatat surplus, lebih tinggi dibandingkan dengan capaian surplus pada triwulan sebelumnya, terutama didukung oleh kenaikan surplus neraca perdagangan nonmigas, sejalan dengan masih tingginya harga komoditas global.
Neraca transaksi modal dan finansial diperkirakan tetap terjaga didukung oleh aliran modal masuk dalam bentuk penanaman modal asing (PMA).
Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juni 2022 tercatat sebesar US$136,4 miliar, setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
"Ke depan, kinerja NPI pada 2022 diprakirakan akan tetap terjaga dengan transaksi berjalan dalam kisaran surplus 0,3 persen sampai dengan defisit 0,5 persen dari PDB terutama ditopang oleh harga komoditas global yang tetap tinggi. Kinerja NPI tersebut juga didukung neraca transaksi modal dan finansial terutama dalam bentuk PMA sejalan dengan iklim investasi dalam negeri yang terjaga," tuturnya.
Rupiah terdepresiasi
Perry juga menyampaikan nilai tukar rupiah pada 20 Juli 2022 terdepresiasi 0,60 persen dibandingkan akhir Juni 2022, namun dengan volatilitas yang terjaga.
Depresiasi tersebut sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara untuk merespons peningkatan tekanan inflasi dan kekhawatiran perlambatan ekonomi global, di tengah persepsi terhadap prospek perekonomian Indonesia yang tetap positif.
Dengan perkembangan ini, mata uang Garuda sampai dengan 20 Juli 2022 terdepresiasi 4,9 persen dibandingkan dengan level akhir 2021.
Namun, Perry Warjiyo menjelaskan kondisi kurs rupiah tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti Malaysia yang menurun 6,41 persen, India 7,07 persen, dan Thailand 8,88 persen.
"Ke depan, BI terus mencermati perkembangan pasokan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi," tegas Perry.