Jakarta, FORTUNE - Setelah terjadi jeda dalam aksi jual obligasi global, dolar AS mulai melemah, yang pada gilirannya memberikan ruang bagi penguatan ekuitas pada perdagangan Selasa pagi (14/1). Namun, ketidakpastian Wall Street perihal rilis data inflasi AS berpotensi memicu kehati-hatian Pasar Asia hari ini, Rabu (15/1).
Pelemahan dolar AS dan penurunan imbal hasil obligasi treasury berpeluang memberikan sedikit angin segar bagi pasar negara-negara berkembang dan Asia. Meskipun demikian, pembalikan arah saham AS bisa mengurangi dampak positif tersebut, terutama karena data inflasi Indeks Harga Konsumen (CPI) AS akan diumumkan setelah pasar Asia tutup.
Pada perdagangan Selasa kemarin, pasar Asia menunjukkan performa positif. Indeks MSCI Asia ex-Japan mampu pulih dari posisi terendah dalam lima bulan terakhir.
Tiongkok mencatat lonjakan lebih dari 2,5 persen setelah regulator setempat menjanjikan tambahan untuk pasar, sementara sektor perusahaan semikonduktor lokal mendapat dorongan setelah AS memperketat pembatasan teknologi.
Namun, tren positif ini tidak dirasakan oleh pasar Jepang. Saham Jepang justru tertekan setelah Deputi Gubernur Bank Jepang, Ryozo Himino, mengisyaratkan kemungkinan kenaikan Suku Bunga minggu depan.
Nikkei 225 mencatat penurunan terbesarnya dalam dua setengan bulan. Angka tersebut menunjukkan kemerosotan sekitar 1,8 persen.
Melihat latar belakang regional ini dan fokus pasar Asia hari ini diperkirakan truut mempengaruhi kebijakan moneter Bank Indonesia (BI). Di tengah gejolak mata uang belum lama ini, BI diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan pada level 6 persen.
BI telah membuat salah satu keputusan pertama di antara bank sentral negara berkembang tahun ini, setelah The Fed memberikan sinyal penurunan suku bunga.
Barclays Plc memperbarui perkiraannya, memprediksi pelonggaran suku bunga Indonesia akan mencapai setengah poin hingga 2026, bukan tahun ini. Sementara itu, PT Bahana Sekuritas mengungkapkan bahwa BI mungkin harus menaikkan suku bunga pada kuartal mendatang jika nilai dolar AS terus menguat.
"Pada tahun 2024, kebijakan Bank Indonesia akan mencakup keputusan untuk mempertahankan, menaikkan, dan menurunkan suku bunga acuannya. Terdapat kemungkinan besar bahwa tahun 2025 akan menyaksikan perulangan langkah serupa," kata Ekonom Senior Bloomberg, Tamara Henderson dikutip dari Yahoo Finance.
Inflasi yang saat ini berada di batas bawah target bank sentral, yaitu 1,5-3,5 persen, mendorong kebijakan moneter lebih diarahkan untuk menjaga stabilitas rupiah yang telah melemah sekitar 7 persen terhadap dolar AS sejak mencapai puncaknya pada September 2024.
Sentimen global
Seperti banyak negara berkembang lainnya, Indonesia terpukul oleh kenaikan imbal hasil obligasi AS dan penguatan tajam mata uang dolar. Hal ini memperketat kondisi keuangan domestik dan membatasi ruang gerak BI untuk melonggarkan kebijakan.
Goldman Sachs mengungkapkan, kondisi keuangan Indonesia telah memburuk sejak akhir September, terutama akibat kenaikan suku bunga jangka panjang dan pelemahan pasar saham. Saat ini, kondisi tersebut menjadi yang terketat sejak Oktober 2023, mendekati level tertinggi sejak Oktober 2022.
Di sisi lain, ketegangan perdagangan global, termasuk potensi tarif baru dari AS terhadap banyak negara, terus menekan sentimen pasar. Hal ini semakin mencuat menjelang pelantikan Presiden AS terpilih, Donald Trump, pada Senin, (20/1).
Pada Selasa kemarin, Presiden Tiongkok Xi Jinping menekankan pentingnya hubungan ekonomi yang kuat antara Tiongkok dan Uni Eropa. Ia berharap Uni Eropa dapat menjadi mitra kerja sama yang dapat diandalkan. Sedangkan di AS, Trump mengumumkan rencana untuk membentuk departemen baru, "Layanan Pendapatan Eksternal," yang bertugas mengumpulkan pendapatan dari tarif dan bea asing.
Sementara itu, won Korea Selatan, yang merupakan salah satu mata uang Asia dengan kinerja terbaik tahun ini, berpotensi melemah. Media asal Negeri Ginseng itu melaporkan, penyelidik tengah berada di kediaman Presiden Yoon Suk Yeol yang dimakzulkan untuk menindaklanjuti surat perintah penangkapan.