Jakarta, FORTUNE – Bitcoin (BTC) menutup kinerja pada bulan pertama 2022 dengan torehan negatif. Harga mata uang kripto utama di dunia tersebut terkoreksi secara bulanan, dan menjadi yang terburuk sejak beberapa tahun terakhir.
Mengutip data dari coinmarketcap, pada perdagangan Senin (31/1), harga Bitcoin tercatat US$38.483 atau sekitar Rp550,31 juta (asumsi kurs Rp14.300). Jika dibandingkkan posisi bulan sebelumnya (month-to-month/mtm) harga tersebut turun 16,9 persen.
Bahkan, menurut laman cointelegraph, koreksi harga Bitcoin secara bulanan tersebut merupakan yang terburuk sejak Januari 2018. Kala itu, harga aset kripto tersebut terkoreksi 25,4 persen secara bulanan.
Padahal, kinerja aset kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar itu dua tahun terakhir khususnya pada Januari kerap positif. Ambil misal pada Januari 2020 saat harga Bitcoin naik 29,9 persen secara bulanan. Begitu pula pada Januari tahun lalu yang meningkat 14,5 persen.
“Belum ada investor yang mau masuk untuk membeli penurunan seperti yang terjadi pada awal tahun,” kata Anthony Denier, CEO platform perdagangan Webull, kepada MarketWatch. “Dengan sedikit modal baru yang masuk ke pasar, sulit untuk melihat kapan ini akan berbalik.”
Harga Bitcoin juga relatif menurun dari hampir US$68.000 rekor sepanjang masanya pada November tahun lalu. Namun, secara tahunan (year-on-year/yoy), harga aset kripto tersebut masih melaju 16,2 persen dari sebelumnya US$33.114.
Sebagai tambahan, kapitalisasi pasar Bitcoin pada Januari mencapai US$729,07 juta atau sekitar Rp10.425 triliun. Sebagai perbandingan, pada saat harga kripto ini memuncak, kapitalisasi pasarnya sanggup mencapai US$1,27 triliun.
Tokocrypto: harga turun, investor harus paham risiko
Afid Soegiono, Trader dari Tokocrypto (platform perdagangan kripto di Indonesia), menyebut saat ini investor cenderung merespons negatif serta bersikap wait and see dalam menyikapi sejumlah sentimen global terkait kripto termasuk Bitcoin, di antaranya: isu pengetatan moneter oleh bank sentral Amerika Serikat, penolakan Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) terhadap ETF Bitcoin Spot, dan isu bank sentral Rusia yang melarang pengggunaan dan penambangan kripto.
“Di kala pasar kripto sedang turun, investor beranggapan bahwa saat inilah waktu yang tepat untuk masuk. Namun, hal ini perlu diwaspadai oleh investor, mengingat volatilitas kripto yang masih cukup tinggi dan belum ada katalis positif yang dapat mengangkat kembali performanya, walaupun sudah terlihat akan rebound,” katanya dalam keterangan kepada media.
Dia mengutip pandangan sejumlah analis tentang penurunan harga diprediksi akan terjadi dalam jangka panjang. Peluang tersebut memicu kekhawatiran akan datangnya musim dingin kripto (crypto winter)—istilah yang merujuk pada kemerosotan tajam, diikuti oleh penurunan perdagangan, dan kelesuan pasar selama berbulan-bulan, sebuah fenomena yang menimpa pasar kripto pada 2018.
“Jika terjadi crypto winter, diperkirakan periodenya akan singkat," katanya.
Budd White dari Tacen Inc., justru berpendapat bahwa momentum itu adalah tanda bahwa kripto tengah berada di tren penetapan harga ulang (repricing) ketimbang membeku. Menurutnya, penurunan saat ini hanya mencerminkan harga aset yang realistis karena masih ada potensi kenaikan.