Jakarta, FORTUNE - Grab Holdings Ltd resmi melantai di bursa saham Amerika Serikat (AS), yaitu Nasdaq, pada Kamis (2/12) setempat. Namun, harga saham perusahaan transportasi dan pengiriman berbasis di Singapura itu anjlok saat perdagangan perdana.
Melansir Nasdaq, saham Grab pada perdagangan kemarin dibuka di posisi US$13,06 per saham. Namun, pada saat penutupan perdagangan, saham perusahaan tersebut jatuh ke posisi US$8,75 per saham, atau menurun sekitar 33,0 persen.
“Harga tidak ada bedanya bagi saya. Saya akan merayakan malam ini dan kembali bekerja besok," kata Chief Executive Officer (CEO) Grab, Anthony Tan, kepada Reuters usai sahamnya mulai diperdagangkan.
Debut perdana Grab di Nasdaq diyakini menjadi titik tertinggi bagi perusahaan yang sudah berusia lebih dari sembilan tahun tersebut. Perseroan menawarkan berbagai layanan digital, terdiri dari: transportasi, pengiriman makanan, pemesanan hotel, perbankan daring, pembayaran seluler, dan layanan asuransi. Grab—yang merupakan super-apps—sekarang beroperasi delapan negara dengan jumlah penggunanya tercatat sebesar 187 juta orang.
Sebelum listing di bursa saham AS, Grab resmi melakukan merger dengan Altimeter Growth Crop. Aksi korporasi ini bernilai US$40 miliar atau sekitar Rp570 triliun. Pendiri sekaloigus CEO Altimeter Capital Brad Gerstner, mengatakan, Grab adalah perusahaan ikonik, digerakkan oleh misi, dan dipimpin oleh pendiri yang membuat perbedaan dalam kehidupan orang-orang dan komunitas yang dilayaninya.
“Grab telah menunjukkan pertumbuhan yang tahan lama bahkan selama pandemi dan memainkan peran mendasar dalam digitalisasi Asia Tenggara,” kata Brad.
Kinerja keuangan
Mengutip Market Watch, Grab, seperti pembuat aplikasi transportasi dan pengiriman lainnya, telah menderita banyak kerugian sejak berdiri pada 2012. Berdasarkan prospektusnya, hingga Juni 2021, emiten ini mengakumulasi rugi sebesar US$11,9 miliar atau setara Rp169,58 triliun.
Perusahaan pada kuartal ketiga tahun ini membukukan rugi bersih sebesar U$988 juta (Rp14,08 triliun), meningkat sebesar $366 juta (Rp 5,22 triliun) secara tahunan. Rugi ini disinyalir karena pendapatan Grab yang menurun 9 persen menjadi US$157 juta (Rp2,24 triliun).
Chief Financial Officer Grab, Peter Oey, mengatakan bahwa perusahaan hambatan terberat lantaran pembatasan terkait COVID-19 di Asia Tenggara, terutama di Vietnam. Akan tetapi, dia optimistis akan pertumbuhan dan pemulihan ke depannya, bahkan ketika perusahaan melihat perkembangan varian baru COVID-19 Omicron.
“Bisnis mobilitas kami telah meningkat karena penguncian telah dilonggarkan,” kata Oey dalam wawancara dengan Market Watch. “Bisnis pembayaran kami juga terus berkembang. Kami melihat semua tanda yang kuat.”
Grab pun membanggakan rekor nilai barang dagangan kotor (gross merchandise value) mencapai US$4 miliar (Rp57 triliun) pada kuartal yang sama, atau meningkat 32 persen secara tahunan. Tagihan kotor (gross billings) juga naik 41 persen menjadi US$616 juta (Rp8,78 triliun) dan juga merupakan rekor tertinggi.
Peluang pasar
Meski kinerja keuangannya belum memuaskan, Grab optimistis terkait peluang besar ke depannya. Selain beroperasi di Vietnam, Grab juga melayani pelanggan di Kamboja, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapuran dan Thailand. Peter Oey dari Grab mengatakan, ada “peluang besar” dengan nilai pasar yang dapat diperoleh sebesar $180 miliar (Rp2.565 triliun) dari produk seperti ride-hailing, pengiriman dan pembayaran.
Menurut Reuters, ekonomi Internet Asia Tenggara—yang dihitung dalam nilai barang dagangan kotor—diperkirakan meningkat dua kali lipat menjadi US$360 miliar (Rp5.130 triliun) pada 2025 mendatang.
Perkiraan nilai pasar tersebut ini mendorong pesaing Grab, yaitu Sea Ltd (induk e-commerce Shopee) dan Gojek Tokopedia (GoTo) Indonesia untuk meningkatkan aktivitas bisnisnya. GoTo sendiri dikabarkan akan mencatatkan saham perdana (initial public offering/IPO) pada 2022 setelah mereka menyelesaikan penggalangan dana pribadi sebesar US$2 miliar (Rp28,5 triliun).