Jakarta, FORTUNE - Setelah sempat tertekan, harga minyak pada perdagangan Senin (29/11) ini kembali melaju dengan sanggup menutup sejumlah kerugian pada penurunan sebelumnya. Pergerakan harga energi tersebut setidaknya sampai saat ini masih bergantung pada sentimen varian baru Covid-19 serta pertemuan OPEC.
Sebagaimana dikutip dari Reuters, harga minyak minyak mentah Brent, misalnya, naik 4,2 persen menjadi US$75,77 per barel. Lalu, harga minyak versi West Texas Intermediate (WTI) juga meningkat 4,8 persen menjadi US$71,42 per barel.
Itu setelah pada perdagangan Jumat (26/11) harga minyak kompak menurun dua digit. Minyak mentah Brent turun 11,6 persen menjadi US$72,72 per barel. Sedangkan, WTI juga terkoreksi 13,1 persen menjadi US$68,15 per barel. Penurunan harga pada akhir pekan lalu ini merupakan yang terbesar yang terjadi dalam satu hari sejak April 2020.
Meski kembali melaju, harga minyak itu belum kembali ke posisi tertinggi. Mengutip Trading Economics, pada akhir Oktober lalu, baik harga Brent maupun WTI masing-masing di kisaran US$85 per barel.
Sentimen varian baru COVID-19 ke perekonomian global
Harga minyak yang sempat menurun itu ditaksir seiring kekhawatiran investor terhadap varian baru COVID-19 yang bernama Omicron. Pada saat sama, investor juga mencermati kondisi surplus pasokan minyak pada kuartal pertama 2022.
"Ada koreksi pembelian di tengah pandangan bahwa pasar minyak telah oversold minggu lalu dan spekulasi bahwa OPEC+ dapat mengambil tindakan terhadap Omicron berpotensi memangkas produksi," kata Hiroyuki Kikukawa, manajer umum penelitian di Nissan Securities. Sebagai informasi, kondisi pasar oversold mengindikasikan suatu aset yang diperdagangkan dengan harga lebih rendah dari harga wajarnya.
Menurut Hiroyuki, pandangan pelaku pasar akan tertuju pada bagaimana Omicron akan mempengaruhi perekonomian global dan permintaan bahan bakar serta langkah kebijakan Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan Sekutunya (OPEC+).
Varian baru virus corona Omicron dilaporkan telah menyebar ke banyak negara pada Minggu (28/11). Sejumlah kasus baru varian tersebut ditemukan di Belanda, Denmark, dan Australia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan belum jelas apakah Omicron, yang pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan, lebih menular atau berbahaya daripada varian lainnya.
Kepada The Guardian, Russ Mould, Direktur Investasi di AJ Bell, sebelumnya mengatakan harga minyak yang menurun mengindikasikan kekhawatiran pasar tentang pengurangan aktivitas ekonomi. Pasar jelas berspekulasi bahwa penyebaran cepat dari varian COVID-19 dapat kembali menggagalkan pemulihan ekonomi global.
Namun, itu juga diperkirakan seiring ikhtiar sejumlah negara konsumen minyak terbesar untuk menstabilkan harga. Sekelompok negara yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan termasuk Inggris, sepakat untuk melepaskan jutaan barel minyak dari cadangan strategis mereka untuk membantu meredakan kekhawatiran pasokan di tengah lonjakan permintaan.
Pertemuan OPEC+
Sementara itu, OPEC+ dikabarkan telah menunda pertemuannya demi meminta waktu lebih banyak untuk menilai dampak Omicron terhadap permintaan dan harga minyak, menurut sumber dan dokumen OPEC+ yang dikutip Reuters.
Alih-alih pada Selasa, lembaga tersebut akan bertemu pada Kamis demi memutuskan kemungkinan keputusan kebijakan peningkatan produksi sebesar 400.000 barel per hari pada Januari 2022 dan seterusnya.
Sejumlah analis menyarankan lembaga tersebut dapat menghentikan kenaikan setelah rilis stok oleh negara-negara konsumen minyak utama. Belum lagi pertimbangan kemungkinan dampak terhadap sisi permintaan (demand) akibat karantina wilayah (lockdown).
The Guardian juga menyebut, munculnya varian baru COVID-19 juga kemungkinan akan mengaburkan negosiasi yang sudah dijadwalkan antara OPEC dan sekutunya (OPEC) terkait rencana peningkatan produksi minyak ke depannya.