Jakarta, FORTUNE – Weibo Corp resmi melakukan pencatatan saham perdana (IPO) di bursa Hong Kong, Rabu (8/12). IPO raksasa media sosial Tiongkok itu terjadi di tengah sentimen negatif perusahaan teknologi.
Melansir Reuters, saham Weibo pada perdagangan kemarin ditutup melemah 7,2 persen menjadi $253,2 dari harga penawaran $272,8. Sepanjang perdagangannya, saham emiten tersebut bergerak fluktuatif dan sempat mencapai $256,20. Weibo menghimpun $385 juta dengan menawarkan 11 juta sahamnya.
Derdiri sejak 2009, Weibo merupakan platform media sosial terbesar kedua setelah aplikasi pesan instan milik Tencent yaitu Wechat. Weibo adalah istilah Tiongkok untuk merujuk pada microblogging. Media sosial itu lekat dengan identitas Twitter versi Tiongkok.
Melalui IPO, Weibo bergabung dengan perusahaan teknologi Tiongkok lainnya, seperti Alibaba dan JD.com, yang terdaftar di Amerika Serikat (AS) dan Hong Kong.
Sentimen negatif teknologi
Saham Weibo yang turun berbanding terbalik dengan kinerja indeks saham Hong Kong. Pada hari sama, Indeks Hang Seng ditutup menguat 0,06 persen, dan indeks teknologi naik 0,03 persen.
"Untuk Weibo, ini masalah waktu. Pasar Hong Kong mulai rebound minggu ini dan sekarang kami melihat beberapa pelemahan muncul di pasar," kata Louis Tse, direktur Wealthy Securities di Hong Kong.
Sejumlah saham perusahaan teknologi utama seperti Alibaba Group Holdings turun 4,35 persen menyusul sentimen terhadap perusahaan teknologi. "Pasar listing di Hong Kong sangat suam-suam kuku saat ini," kata Dickie Wong, direktur eksekutif Kingston Securities.
Perusahaan Tiongkok yang sahamnya tercatat di AS dikabarkan terjebak di tengah perselisihan antara Tiongkok dengan AS. Beijing telah meningkatkan pengawasannya terhadap perusahaan teknologi. Otoritas bursa AS telah menyelesaikan aturan yang memungkinkan saham perusahaan asing dapat dihapus (delisting) jika auditornya tak mematuhi permintaan informasi dari regulator.
Kondisi tersebut membuat sejumlah perusahaan Tiongkok mencari sumber pendanaan alternatif jika harus melepas sahamnya dari pasar saham AS.
“Akan menjadi malapetaka jika semua perusahaan Tiongkok terpaksa delisting dari bursa AS. Meski persaingan kedua negara sangat ketat, mereka perlu dan harus saling bergantung secara finansial, ekonomi, teknologi, sosial, dan budaya,” kata Nina Xiang, direktur pelaksana China Money Network di Hong Kong.
Pekan lalu, raksasa ride-hailing Didi Global menyatakan akan memindahkan sahamnya dari New York Stock Exchange ke bursa Hong Kong. Itu setelah mereka menyerah menghadapi tekanan dari regulator soal keamanan data perusahaan.