Jakarta, FORTUNE - Indeks Saham acuan Jepang, Nikkei 225, anjlok 12,4 persen ke 31.458,42 pada Senin (5/8) akibat kekhawatiran terhadap kondisi perekonomian Amerika Serikat (AS).
Itu merupakan pelemahan ke level terendah Nikkei sejak 1 November 2023. Bahkan, Japan Today melaporkan Nikkei 225 sempat amblas 13,4 persen pada perdagangan Senin ini.
Harga saham di bursa Tokyo telah terkoreksi sejak kenaikan suku bunga acuan Bank of Japan (BoJ) pada pekan lalu. Salah satu pendorongnya adalah pelemahan mata uang yen secara berkepanjangan, sehingga mendorong inflasi melampaui target sebesar 2 persen.
Kondisi itu diperparah dengan rilis data ekonomi AS pada akhir pekan.
Goldman Sachs mencatat, peluang resesi 12 bulan AS meningkat menjadi 25 persen. Suku bunga acuan Fed (FFR) pun diproyeksikan akan mulai diberlakukan pada September 2024, lalu berlanjut pada November dan Desember.
Analis Goldman Sachs memproyeksikan pertumbuhan lapangan kerja akan pulih pada Agustus dan FOMC akan memulai pemangkasan bunga 25 basis poin sebagai respons.
"Jika kami salah dan laporan ketenagakerjaan Agustus sama lemahnya dengan Juli, maka pemangkasan suku bunga 50 basis poin kemungkinan dilakukan pada September," tulis Tim Analis Goldman Sachs, dilansir dari Reuters.
IHSG turut tertekan hingga 4 persen
Sejalan dengan itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turut tertekan hingga 4,18 persen ke level 7.002,30 pada Senin pukul 14.14 WIB, setelah dibuka pada level 7.254,61.
Itu membuat IHSG telah terkoreksi 3,37 persen (year to date).
"Bursa Asia mengalami koreksi dan dalam tekanan aksi jual hari ini, seiring dengan sikap para pelaku pasar pascarilis data ekonomi AS," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, dalam catatannya pada akhir perdagangan sesi I hari ini.
Pada akhir pekan lalu, AS mengumumkan bahwa data nonfarm payrolls hanya naik ke 114.000, jauh di bawah ekspektasi pasar, yakni 175.000. Selain itu, tingkat pengangguran AS pun meningkat menjadi 4,3 persen, melampaui ekspektasi yang hanya 4,1 persen.
Pengumuman data itu meningkatkan kekhawatiran pasar akan terjadinya pelemahan pertumbuhan ekonomi AS, yang bukan tidak mungkin akan berujung pada resesi. Alhasil, para pelaku pasar relatif berhati-hati terhadap prospek ekonomi AS.
Sementara itu, dari dalam negeri, pertumbuhan ekonomi melambat. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, perekonomian Indonesia pada kuartal II-2024 mencapai 5,05 persen (YoY), lebih rendah dari kuartal I yang mencapai 5,11 persen.
"Meski lebih rendah dari kuartal sebelumnya, kami menilai hal itu disebabkan oleh faktor musiman yang menopang aktivitas ekonomi. Karena itu kami menilai itu masih cukup positif di saat kondisi ketidakpastian global masih membayangi," kata Nico.