Jakarta, FORTUNE - BCA Sekuritas memproyeksi Indeks Harga Saham Gabungan (Ihsg) mencapai level 7.200–7.300 sepanjang 2024, menurun dari estimasi sebelumnya, 7.600–7.700.
Pandangan terbaru itu relatif bersifat netral ke bearish. Mengapa demikian?
Head of Research BCA Sekuritas, Andre Benas menjelaskan, itu karena sejumlah faktor, yang meliputi: kurangnya faktor kebijakan fiskal di Indonesia, inflasi yang masih cukup rendah, kenaikan PDB yang minim, hingga ketidakjelasan terkait investasi asing (foreign direct investment).
Dari segi pertumbuhan EPS (earning per share) selama 2024 pun, Indonesia hanya membukukan kurang dari 4 persen, seperti Thailand. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia (12 persen), Jepang (13 persen), Taiwan (18 persen), dan Korea (54 persen).
Ditambah lagi, dalam tiga tahun terakhir, saham-saham perbankan sudah naik secara signifikan, sehingga peluang penguatannya mulai terdeselerasi pada 2024. "Jadi mestinya upside untuk IHSG di 2024 sudah tak terlalu banyak," kata Andre kepada pers, dikutip Selasa (16/7).
Skenario yang berbeda bisa saja terjadi dengan syarat. Pertama, jika ke depannya NPL para emiten perbankan menjadi nihil. Kemudian, pemerintahan baru di bawah pimpinan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming menerapkan kebijakan ekonomi makro setelah pelantikan pada Oktober nanti. Hal itu dinilai bisa menjadi katalis positif bagi pasar.
Adapun, pada semester kedua 2024 ini, BCA Sekuritas menyoroti saham-saham dari sektor ritel, peternakan, batu bara, transportasi, dan kesehatan.
Andre menilai, sektor ritel masih tergolong positif karena katalis dari daya beli kelompok menengah ke atas.
Sementara untuk sektor ritel, katalisnya datang dari harga bahan baku, seperti bijih kedelai, yang menurun. Regulasinya pun dianggap sudah cukup baik untuk para pemain.
Sektor lain seperti batu bara didukung oleh permintaan atas batu bara dari pembangkit listrik sehingga masih relatif bagus. Transportasi, seperti emiten kapal tongkang dan taksi, juga masih memiliki prospek yang baik.
Terakhir, sektor kesehatan berpeluang tumbuh positif. Itu karena katalis dari kenaikan premi asuransi yang cukup signifikan, sehingga bisa mendorong para nasabah akan lebih sering menggunakannya. Misal, untuk cek kesehatan rutin. Terutama setelah Covid-19, yang membuat masyarakat lebih sadar akan kondisi kesehatan.