Jakarta, FORTUNE - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) membuka peluang relaksasi rasio Free Float untuk calon emiten BUMN ataupun swasta yang ingin IPO (Initial Public Offering) dengan nilai emisi besar.
Adapun, saat ini, Ketentuan III.2.6.3. Peraturan No. I-A bursa mengatur bahwa calon emiten yang memiliki ekuitas di atas Rp2 triliun sebelum IPO, minimal mempunyai saham free float sebesar 10 persen dari total saham yang akan dicatat di bursa.
Menurut Direktur Utama BEI, Iman Rachman, bursa dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang mendiskusikan opsi yang berkaitan dengan ambang batas ideal untuk jumlah saham beredar di publik, bagi para emiten yang nilai IPO-nya jumbo.
"Ini yang sedang kami kaji dan diskusikan dengan OJK," kata Iman kepad wartawan pasar modal, dikutip Jumat (18/10). "Kita sedang melihat berapa free float yang pas."
Ada pula yang menilai bahwa rasio free float dalam aturan BEI saat ini kurang besar di kalangan investor asing. Lantas, apakah ada peluang rasionya ditingkatkan? Bursa terbuka dengan pilihan itu. Namun, keputusan terkait itu tidak bisa diambil dengan tergesa-gesa.
"Karena jika saya naikkan dari 10 persen [ke atas], di Singapura 12,5 persen, nanti [emiten] free float listing-nya di Singapura," ujar Iman.
Sebelumnya, BEI pernah memberikan relaksasi pemenuhan aturan free float ke PT Pertamina Hulu Energi (PHE), yang dulu berencana mencatatkan saham di BEI pada 2023 dengan nilai emisi US$2 miliar. Akan tetapi, aksi korporasi itu batal.
Intinya, ada gagasan untuk memberi kelonggaran dari segi free float jika memang nilai IPO-nya besar. Mirip dengan PHE.
"Ini lah yang sedang kita kaji. Poinnya, mungkin ada pengecualian untuk satu signifikan yang besar, dia tak perlu 10 persen, sedang kami hitung."
Ke depan, Iman mengharapkan akan ada lebih banyak BUMN dan anak-anak usahanya yang mencatatkan saham secara perdana di BEI. Contohnya, PHE, PT Indonesia Asahan Inalum, serta PalmCo. Mengingat saham-saham BUMN berkontribusi besar terhadap pasar modal.