Jakarta, FORTUNE – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh sejumlah startup—Zenius, LinkAja, dan JD.id—menjadi perbincangan beberapa waktu terakhir. Sampai ada yang menghubungkan fenomena itu dengan bubble burst.
Namun, menurut mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, yang terjadi saat ini bukanlah fenomena bubble burst yang pernah terjadi pada periode 1990-an. Ia justru melihat situasi saat ini sebagai situasi normal.
Sama seperti usaha rintisan lain, tak semua startup bisa berhasil dalam bisnis ini. Setidaknya, 10 persen startup teknologi tak dapat bertahan melebihi tahun pertama; sedangkan 90 persen lain gagal melampaui lima tahun berikutnya.
“Ini sesuatu yang biasa (bukan bubble burst). Bedanya ini baru, banyak eksposure media, jadi ekspektasinya tinggi. Jadi kayak ‘ini ada sesuatu luar biasa’, padahal ya biasa-biasa saja,” ujarnya di salah satu program media swasta, dikutip Selasa (31/5).
Lantas, apa itu bubble burst yang banyak diperbincangkan karena maraknya PHK startup dan tertekannya sektor teknologi global?
Bubble Burst dan 5 Tahapannya
Mengutip Investopedia, bubble adalah kondisi saat terjadi eskalasi nilai pasar—khususnya harga aset—dengan signifikan. Lalu, akan terjadi pemerosotan nilai atau kontraksi yang sama cepatnya—yang disebut sebagai ledakan gelembung. Fenomena kedua itu yang dimaksud dengan bubble burst.
Terdapat 5 tahap dalam setiap fenomena bubble menurut ekonom Hyman P. Minsky, yakni:
- Perpindahan
Terjadi perpindahan atau pergeseran ketika seorang investor tertarik oleh paradigma baru. Contohnya, ketika ditemukan teknologi atau inovasi baru seperti Metaverse di Indonesia.
Apa lagi contoh lainnya? Mari bahas penurunan tingkat dana The Fed dari 6,5 persen pada Juli 2000 menjadi 1,2 persen pada Juni 2003. Sepanjang masa itu, suku bunga hipotek dengan suku bunga tetap 30 tahun menurun 2,5 persen—titik terendah dalam sejarah.
- Booming
Tahap ini merujuk pada kenaikan harga perlahan di awal setelah pergeseran atau perpindahan. Kemudian, karena makin banyak menarik perhatian pasar, akan lahir fase booming.
Di fase itu, aset menarik itu akan banyak disoroti oleh media. Spekulasi akan banyak terjadi di mana-mana, sehingga mencuri atensi para investor dan pelaku pasar.
- Euforia
Di fase ketiga ini, kehati-hatian akan makin berkurang karena meroketnya harga aset. Valuasi bakal mentok ke titik kulminasi. Misal, ketika terjadi puncak gelembung properti Jepang pada 1989. Demkian juga dengan puncak euforia internet per Maret 2000, saat valuasi total seluruh saham teknologi Nasdaq melampaui PDB sebagian negara.
- Profit Taking
Selanjutnya, ada tahap pengambilan keuntungan. Para investor yang cerdas menangkap sinyal kalau gelembung hampir meledak, sehingga mereka akan menjual aset dan mengambil keuntungan.
Namun, menurut Ekonom John Maynard Keynes, memperkirakan waktu yang tepat untuk melakukan profit taking bisa dibilang sulit.
- Panik
Terakhir, ketika gelembung akhirnya pecah, terciptalah fase panik. Harga aset akan menukik tajam. Investor dan spekulan pun harus berhadapan dengan jatuhnya nilai kepemilikan aset. Lantas, mereka ingin segera mencairkan aset dengan harga berapa saja. Karena pasokan mendominasi permintaan, maka harga aset merosot tajam.