Jakarta, FORTUNE - Rencana ekspansi agresif Lawson diprediksi dapat mendongkrak laba bersih PT Midi Utama Indonesia Tbk (MIDI) secara signifikan ke depannya.
Pada 2023, MIDI membidik membuka 700 gerai baru. 500 di antaranya merupakan outlet Lawson, yang dikelola oleh entitas anaknya, PT Lancar Wiguna Sejahtera. 250 akan berbentuk toko stand alone, sedangkan 250 lagi berbentuk store-in-store.
Itu merupakan langkah lanjutan dari ekspansi gerai Lawson yang agresif sejak paruh kedua 2022, yang mana perseroan berhasil menambah 127 gerai lawson baru. Setelah jumlah gerai hanya mencapai 65 buah selama 10 tahun berdiri. Menurut Analis Samuel Sekuritas, Pebe Peresia, rencana tersebut telah menarik investor untuk mengoleksi saham MIDI. Yang mana sudah mengalami kenaikan harga 38,7 persen per 26 Juni 2023.
“Kami memperkirakan pembukaan gerai [Lawson] tersebut baru akan membuahkan hasil signifikan terhadap laba bersih MIDI pada 2024, seiring dengan estimasi pencapaian lebih dari 1.000 toko Lawson dan potensi menurunnya biaya atau penjualan yang meningkatkan NPM (net profit margin) pada 2024,” jelasnya dalam riset, dikutip Senin (3/7).
Pada 2023, MIDI juga menargetkan NPM Lawson sekitar 2 persen, lebih rendah dari NPM konsolidasi MIDI, yakni 2,5 persen) karena biaya atau pendapatan yang masih tinggi.
“Dengan asumsi kenaikan NPM Lawson menjadi 3 persen pada 2024, laba bersih MIDI di tahun 2023/2024 diproyeksi tumbuh 13,4 persen (YoY) atau 21,3 persen (YoY),” imbuhnya.
Per hari ini, saham MIDI ditutup stagnan di harga Rp424, setelah bergerak di rentang harga Rp418 sampai dengan Rp430. Pebe menilai, MIDI berpotensi diperdagangkan di valuasi dengan rasio price to earning (P/E) 21,9 kali pada 2024. Sementara itu, BRI Danareksa Sekuritas memproyeksikan rasio P/E MIDI akan mencapai 36,8 kali pada 2023.
Biaya ekspansi dan risiko di baliknya
Secara detail, MIDI menganggarkan Rp1,6 triliun belanja modal untuk ekspansi, yang mana Rp600 miliar atau 37,5 persen diperuntukkan untuk penambahan outlet Lawson. Adapun, belanja modal per gerai Lawson lebih kecil daripada Alfamidi, yakni sekitar Rp2 miliar untuk stand alone dan Rp500 juta untuk store-in-store, sedangkan Alfamidi butuh sekitar Rp3 miliar.
“Kami menilai, format gerai store-in-store menguntungkan bagi MIDI, karena selain butuh capex lebih kecil, itu juga berpotensi menghasilkan margin lebih tinggi karena hanya menjual produk ready-to-eat dan ready-to-drink,” kata Pebe lagi.
MIDI sendiri mengoperasikan gerai ritel Alfamidi (85 persen dari total gerai), Alfamidi Super, Midi Fresh, dan Lawson. GPM (gross profit margin) produk ready-to-eat dan ready-to-drink bisa mencapai sekitar 50 persen, sedangkan dry product hanya sekitar 20 persen.
Hingga kuartal pertama 2023, gerai Lawson sudah bertambah 131 buah, yang mana 38 berformat stand alone dan 93 store-in-store. Sebagai perbandingan, Alfamidi hanya membuka 14 gerai.
Ihwal rencana ekspansi Lawson, MIDI pun sedang mencari mitra strategis potensial. “Karena perjanjian master waralaba dengan Lawson Jepang akan berlangsung hingga 2036,” tulis BRI Danareksa Sekuritas dalam risetnya.
Di balik rencana ekspansi agresif itu, ada faktor risiko upside dan downside yang membayangi, yakni: pembukaan gerai berlebih atau di bawah target, serta penjualan dan margin keuntungan Lawson yang lebih tinggi atau lebih rendah dari perkiraan.