Balikpapan, FORTUNE - Transaksi Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) di periode awal setelah peluncuran lebih baik ketimbang sejumlah bursa karbon di Asia, termasuk Malaysia. Meski demikian, masih ada tantangan di baliknya.
Pada 6 September sampai 15 November 2023, total volume perdagangan karbon di IDX Carbon mencapai 468.124 tCO2e. Sementara itu, nilai transaksinya mencapai Rp29,63 miliar. Dari total tersebut, unit karbon sudah di-retire sejumlah 436 tCO2e oleh empat pihak.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon, Inarno Djajadi, jika dibandingkan dengan Bursa Karbon Malaysia, transaksi perdagangan di IDX Carbon muncul lebih cepat.
“Malaysia setelah rilis, perdagangan [baru] mulai ada setelah dua tahun kemudian. Kalau IDX Carbon, sejak rilis, walau masih kecil, sudah terjadi transaksi dan pihak terlibat pun sudah cukup banyak,” katanya di Workshop Wartawan Pasar Modal di Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (17/11).
Adapun, IDX Carbon telah mencatatkan 33 pengguna jasa. Jumah pembelinya dua, yakni Pertamina Geothermal dan anak usaha PLN. Bursa Efek Indonesia selaku penyelenggara IDX Carbon juga mencatat ada 20 calon pengguna jasa lagi yang mengantre di pipeline.
Tantangan bursa karbon Indonesia
Kendati demikian, Inarno tak menampik IDX Carbon masih memiliki tantangan. Sebab, komposisi volume perdagangannya masih sedikit dibandingkan dengan jumlah unit karbon tercatat: 1,74 juta tCO2e per 15 November.
Bahkan, hingga saat ini masih ada 3.244 pendaftar dalam sistem SSR PPI milik KLHK, dari segi pasokan.
“Karena itu, dari segi permintaan, pentingnya untuk bersuara terkait aturan-aturannya. Salah satunya, kebijakan pemerintah terhadap batas atas (cap) [di pasar sekunder] atau mungkin juga penerapan pajak karbon,” kata Inarno.
Kepala Departemen Pengaturan & Pengembangan Pasar Modal OJK, Antonius Hari Prasetyo menambahkan, setiap pihak terkait IDX Carbon perlu mengambil langkah untuk meningkatkan jumlah pembeli. Dengan begitu, permintaan akan turut terdongkrak.
Hingga kini, pembeli mayoritas berasal dari sektor perbankan dan sektor riil. Anton menilai, ke depannya para pembeli harus datang dari multisektor. Namun, untuk meralisasikannya diperlukan koordinasi erat dan keseriusan tiap pemangku kepentingan di ekosistem IDX Carbon.
“Seharusnya yang beli ini yang memang diwajibkan untuk memenuhi. Tapi yang sekarang beli itu sukarela untuk penuhi kebutuhannya," katanya.
Khususnya dari 5 sektor yang memang diwajibkan oleh pemerintah sesuai dengan ketetapan NDC (Nationally Determined Contributions) hasil Perjanjian Paris, yakni Energi, kehutanan, pertanian, limbah, serta industri dan proses produksi. Yang mana, otorisasi pengelolaannya berada di setiap kementerian/lembaga masing-masing sektor.
“Yang ada sekarang ini, pembelinya banyak dari bank, sukarela menghitung dirinya sendiri. Tapi, jika hanya itu, pasarnya kecil,” ujar Anton.
Direktur Utama BEI, Iman Rachman menambahkan, beberapa perangkat tambahan memang diperlukan untuk mendukung perkembangan bursa karbon Indonesia ke depan.
Hal itu termasuk gagasan memberlakukan batas atas (cap) di IDX Carbon yang merupakan pasar sekunder. Saat ini, batas atas baru akan diberlakukan di sektor pembangkit listrik di pasar primer. Itu pun baru bisa diperdagangkan di sektor yang sama.
“Di SPE GRK milik IDX Carbon [belum ada]. Ini harus didukung semua pihak terkait, antarlembaga, antardepartemen, tak bisa bursa saja,” katanya.