Jakarta, FORTUNE - Inflasi Turki melesat ke level 61,14 persen pada Maret 2022. Angka ini merupakan rekor tertinggi dalam 20 tahun terakhir.
Konflik Rusia-Ukraina membawa dampak signifikan terhadap ekonomi Turki yang berbuntut pada lonjakan harga energi dan komoditas. Namun demikian, inflasi Turki sudah melambung sejak musim gugur, saat lira merosot karena siklus pelonggaran dari Bank Sentral Turki (CBRT).
“Kebijakan CBRT tak efektif dalam melawan inflasi. Bahkan, saya pikir kebijakan yang tidak ortodoks dari CBRT merupakan penyebab utama (lonjakan) inflasi itu. Perang di Ukraina hanya memperburuk situasi,” ujar Tim Ash dari BlueBay Asset Management, dilansir Reuters, Rabu (6/4).
Pusat Statistik Turki mengungkap, harga konsumen naik 5,46 persen (MoM), sedikit di bawah estimasi survei Reuters (5,7 persen). Secara tahunan, perkiraan inflasi Turki mencapai 61,5 persen.
Defisit perdagangan Turki
Melihat kondisi saat ini, pemerintah setempat mengatakan inflasi akan turun ke satu digit pada 2023—dengan penerapan program ekonomi baru. Lewat langkah itu, pemerintah memprioritaskan suku bunga rendah guna meningkatkan produksi dan ekspor dan bertujuan mencetak surplus transaksi berjalan.
Akan tetapi, data per Senin (4/4) menunjukkan, defisit perdagangan Turki justru naik 77 persen (YoY) pada Maret 2022, menjadi US$8,24 miliar. Kenaikan ini pun diikuti dengan lonjakan impor energi 156 persen sehingga berisiko memggagalkan target surplus.
Pendiri Burumcekci Consulting, Haluk Burumceksi menilai, inflasi Turki bisa menyentuh level 70–75 persen walaupun lira tak melemah dari level saat ini. “Tak mudah bagi CBRT mempertahankan sikap kebijakan moneternya yang longgar,” katanya.
Sekadar informasi, inflasi di sana didorong oleh sektor transportasi—meliputi harga BBM dan pendidikan yang masing-masing naik 13,29 persen dan 6,55 persen. Secara tahunan, harga transportasi meroket 99,12 persen dan harga makanan-minuman niralkohol melesat 70,33 persen.