Jakarta, FORTUNE - Di antara tiga kandidat calon presiden-wakil presiden saat ini, mana yang menjadi favorit para investor dan pelaku pasar di pasar modal?
Menjawab pertanyaan itu, Chief Investment Officer Sinarmas Asset Management, Genta Wira Anjalu menjelaskan, dalam memilih 'favorit', para pelaku pasar mengedepankan kebijakan ekonomi, fiskal, moneter para kandidat. Juga sektor-sektor yang akan terdampak oleh kebijakan tersebut.
Lalu, yang terpenting, mereka akan melihat peluang stabilitas politik dari tiap capres dan cawapres ke depannya. "Misalnya yang menang pemilihan eksekutif calon A, tapi tak didukung oleh legislatif yang cukup banyak, sehingga cukup sulit mengambil kebijakan. Hal itu akan memberi sentimen yang kurang baik dari pasar," jelas Genta di webinar Road to 2024: Market Outlook Sinarmas Sekuritas, dilansir Jumat (3/11).
Sebab, pasar menyoroti keterukuran dari gagasan kebijakan yang diusung para kandidat. Dus, mereka lebih suka apabila eksekutif dan legislatif dengan arah yang 'sejalan'.
Contoh, di Amerika Serikat yang mana eksekutif dan legislatif datang dari kelompok berbeda, pengambilan kebijakannya pun diwarnai oleh 'tarik-ulur'. Yang pada akhirnya bisa menimbulkan ketidakpastian. "Pasar tak suka ketidakpastian," kata Genta.
Volatilitas jelang pemilu: hal wajar
Adapun, berdasarkan data historis, jelang tahun politik para pelaku usaha umumnya menahan ekspansi. Hal itu menyebabkan mereka bersikap wait and see hingga hasil pemilu diumumkan. Dalam waktu yang sama, Head of Retail Research Sinarmas Sekuritas, Ike Widiawati mengatakan, para investor juga akan mencermati rencana masing-masing kandidat untuk menggerakkan ekonomi secara makro jika terpilih.
Di sisi lain, pemilu mendorong perputaran uang di beberapa industri secara signifikan. Jelang masa pemilihan, permintaan kaos dan atribut kampanye sangat masif pada periode tersebut. Selain itu, sektor perhotelan, restoran, dan transportasi akan cukup banyak mendapatkan limpahan rezeki dari kampanye.
Berbagai dinamika politik yang berkembang di penghujung 2023 hingga hari pemilihan di tanggal 14 Februari 2024 membuat volatilitas pasar semakin menguat. Meski demikian, pasar Indonesia dirasa masih memiliki potensi yang baik untuk bisa menghadapi gempuran ketidakpastian.
Terlebih lagi secara historis, pergerakan IHSG selalu mencatatkan kenaikan jelang pemilu. Pada 2009, 2014, dan 2019, IHSG menguat sebesar 47,1 persen; 9,7 persen; dan 10,9 persen enam bulan sebelum pesta demokrasi berlangsung.
Genta pun berharap pasar modal Indonesia akan kembali bergairah menuju 2024. “Itu dilatarbelakangi oleh data pada pemilu sebelumnya, di mana IHSG dan pasar obligasi mengalami pergerakan positif pada sebelum dan tahun pemilu. Meskipun begitu, kondisi global juga masih diselimuti berbagai tantangan mulai dari perkembangan suku bunga AS, perlambatan ekonomi China, dan kondisi geopolitik yang kembali memanas,” jelasnya.
Sekalipun ada volatilitas, Ike menillai itu masih dalam tahap wajar. Pelaku pasar diharap bisa memanfaatkan momentum itu dengan bijaksana.
“Jadikan penurunan harga saham sebagai waktu terbaik untuk memperoleh saham dengan harga yang murah,” katanya.
SimInvest Research memproyeksikan IHSG berada di kisaran level 7.700 pada 2024. Dalam jangka pendek volatilitas pasar dalam negeri diperkirakan masih berlanjut seiring dengan volatilitas pasar global.
Namun, memasuki tahun 2024, diperkirakan indeks akan mendapatkan ‘angin segar’ dari pemilihan presiden Indonesia. Berdasarkan data historis, indeks mengalami penguatan pasca pemilu disebabkan kondisi politik yang lebih stabil. Di sisi lain, sejalan dengan katalis pemilu dan konsumsi yang membaik, maka diperkirakan sektor konsumsi dan telekomunikasi dapat membukukan performa yang solid pada 2024.