Jakarta, FORTUNE - Satu bulan dalam tahun macan sudah dilalui, pelbagai perusahaan pun mengungkapkan laporan keuangan kuartal akhir 2021; termasuk para perbankan. Melihat hasilnya, para analis sepakat sektor itu memasuki 2022 dengan mode optimis, tapi tetap waspada.
Sebagai gambaran, Bank Central Asia (BBCA) mampu membukukan rekor laba bersih tertinggi senilai Rp31,4 triliun (naik 15,8 persen yoy). “Hasil itu di atas proyeksi kami, tetapi sejalan dengan ekspektasi konsensus masing-masing di 105 persen dan 102,1 persen,” tulis Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Handiman Soetoyo, Hariyanto Wijaya, dan Rizkia Darmawan dalam risetnya, dikutip Kamis (3/2).
Pun begitu dengan Bank Mandiri (BMRI) yang melaporkan kenaikan laba bersih 30,8 persen (qoq) menjadi Rp8,8 triliun pada Q4 2021. Hasilnya, perusahaan mencetak laba bersih kumulatif tertinggi sepanjang masa: Rp28 triliun (naik 66,8 persen yoy).
Bank Negara Indonesia (BBNI) juga mampu mengubah kerugian Rp1 triliun pada Q4 2020 menjadi laba bersih Rp3,1 triliun setahun setelahnya, berkat menurunnya biaya provisi secara signifikan. Secara kumulatif, BBNI mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar 232,2 persen (yoy) menjadi Rp10,9 triliun selama 2021.
Lalu, bagaimana prospek para pemain besar perbankan itu pada 2022? Simak ulasan berikut ini.
Prospek BBCA pada 2022
BBCA optimis dengan prospek di tahun macan ini. Meski pulihnya mobilitas dan naiknya harga komoditas berpotensi memperbaiki kegiatan ekonomi yang akan memantik permintaan pinjaman, perusahaan waspada terhadap risiko pembatasan mobilitas yang bisa terjadi dari waktu ke waktu. Apalagi, Kementerian Kesehatan baru saja mengumumkan, Indonesia kini memasuki gelombang ketiga Covid-19.
Handiman, Hariyanto, dan Rizkia mempertahankan perkiraan pertumbuhan pinjaman (BBCA) sebesar 12 persen pada 2022. Itu didorong oleh semua segmen dari korporasi (infrastruktur, komoditas, dan telekomunikasi), komersial, hingga konsumer.
Pada segmen konsumer, KPR-nya telah melampaui level prapandemi (Rp93,7 triliun pada 2019), yakni Rp97,5 triliun. “Kami percaya situasi ekonomi secara bertahap membaik yang akan mendorong permintaan pinjaman,” kata ketiga analis itu.
Bukan hanya dari segi pinjaman, melainkan berkembang secara keseluruhan. Apalagi, likuiditas BBCA tergolong cukup baik—dengan lDR 65,3 persen dan CASA terdiri dari 78,6 persen dari total simpanan. Ditambah dengan adanya kans kenaikan suku bunga, karena mayoritas simpanannya kurang sensitif terhadap perubahan tarif bunga.
Net Interest Margin (NIM) BBCA juga diyakini akan stabil bahkan sedikit membaik dengan CoF cukup setimbang. Di sisi lain, perubahan hasil pinjaman masih akan teredam mengingat suku bunga acuan yang stabil sepanjang 12 bulan belakangan.
“Setelah suku bunga mulai meningkat, kami eprcaya NIM akan mulai berkembang secara berarti,” ujar tim analis Mirae.
Belum lagi dengan transaksi mobile banking yang bertumbuh 58 persen (yoy), jauh meninggalkan transaksi internet banking (31 persen) dan ATM (8 persen). Kolaborasi lanjutan BBCA dengan platform digital dan nirdigital juga melahirkan sumber pendapatan berbasis biaya.
Akibat rally harga saham beberapa pekan terakhir, Mirae Asset Sekuritas menurunkan rekomendasi BBCA ke hold. Namun demikian, tim analis Mirae meningkatkan target price menjadi Rp8.425, dari sebelumnya Rp8.350. Itu berdasarkan target P/B senilai 4,4x pada FY22F BV.
Risiko utama yang membayangi BBCA, yakni: pembatasan mobilitas, pertumbuhan kredit yang lebih lambat, volatilitas forex, dan kualitas aset yang lebih rendah.
Prospek BMRI pada 2022
Manajemen Bank Mandiri optimistis dengan proyeksi kinerjanya pada 2022. Sentimen positifnya, antara lain: peningkatan mobilitas dan naiknya harga komoditas. Menurut tiga analis Mirae Asset, itu akan memancing permintaan pinjaman yang lebih tinggi di sektor perekonomian yang lebih luas.
“Dengan demikian, kami perkirakan pertumbuhan pinjaman 12 persen pada 2022,” tulis tim riset Mirae Asset.
Selain itu, untuk melanjutkan perkembangan positif pada 2021, BMRI akan berfokus mengalokasikan harta ke aset-aset bernilai tinggi. Demi mengoptimalkan perolehannya, BMRI juga bakal serius menggarap sektor komersial dan UMKM, serta ritel.
Lebih lanjtu, setelah memotong biaya provisi secara signifikan di penghujung 2021, Handiman mengatakan ada kans naiknya pendapatan dari CoC yang lebih kecil tahun ini. Sumber kenaikan pendapatan lain juga berpotensi datang dari meningkatnya recovery income, dengan proyeksi pertumbuhan 10–20 persen dari 2021.
Berdasarkan penilaian internal, jika suku bunga acuan BI meningkat ke depannya, maka NIM BMRI akan ikut naik 8–11 bps—mengingat rasio CASA yang lebih tinggi pada Desember 2021 (69,7 persen) ketimbang setahun sebelumnya (65,6 persen).
Bisnis digital Bank Mandiri, yakni Livin, juga mencatatkan pertumbuhan pengguna 51 persen (yoy) menjadi 9,8 juta. Transaksi brutonya juga tumbuh 51 persen (yoy) menjadi Rp1,6 triliun dengan pendapatan berbasis biaya yang naik 47 persen menjadi Rp1,4 triliun.
Berdasarkan paparan itu, Mirae Asset merekomendasikan Buy dengan target price lebih tinggi: Rp9.175 berdasarkan target P/B 1,8x. Selain itu, tim analis Mirae juga mengatakan, “Kami merevisi perkiraan pendapatan kami sebesar 7,2 persen menjadi Rp35,7 triliun untuk tahun 2022, mengingat kinerja BMRI pada 2021 lebih baik dari perkiraan.”
Ada pun, risiko utama yang membayangi BMRi, yakni: pandemi COVID-19 yang berlangsung lebih lama dari proyeksi, pertumbuhan kredit yang lebih lambat, memburuknya kualitas aset, dan volatilitas forex.
Prospek BBNI pada 2022
Belum lama ini, BBNI mengungkapkan rencana mengakuisisi Bank Mayora sebagai upaya mendirikan bank digital yang membidik nasabah UMKM berorientasi domestik. Sementara UMKM yang mengincar pasar ekspor akan dilayanan lewat Xpora.
“Menargetkan 64 juta bisnis UMKM potensial di Indonesia, kami percaya Bank Mayora akan bisa memanfaatkan ekosistem besar Mayora Group dan BBNI sehingga punya keunggulan lebih ketimbang bank digital lain yang mayoritas fokus pada konsumen individu,” kata Handiman, Hariyanto, dan Rizkia.
Mayora Group merupakan gerai ritel modern dan tradisional besar di Tanah Air. Sementara BBNI memiliki 2.255 cabang, 157 ribu agen, 18,6 juta rekening tabungan individu, hingga 561 ribu rekening deposito perusahaan.
Belum lagi, BBNI juga menjalin kemitraan ekuitas dengan perusahaan teknologi (seperti Sea Group, induk perusahaan Shopee) yang akan berlangsung setelah akuisisi rampung pad aMei 2022. Tim riset Mirae percaya kombinasi antara bank konvensional, bank digital, dan perusahaan teknologi raksasa yang sudah lama berdiri merupakan “kunci untuk memenangkan pangsa pasar”.
Lebih lanjut, BBNI juga akan menggelar rights issue bernilai Rp8,11 triliun pada semester dua 2022. Rp3,5 triliun di antaranya berasal dari pemerintah. Mengenai itu, tiga analis Mirae menyarankan supaya peningkatan modal BBNI tidak melampaui Rp5,8 triliun demi mengurangi dilusi terhadap pemegang saham yang ada.
“Kami pikir, modal dapat digunakan untuk tambahan modal Bank Mayora,” tulis mereka dalam risetnya.
Berbasis fundamental yang tangguh, Mirae Asset meningkatkan perkiraan harga target saham BBNI menjadi Rp9.575 berdasarkan P/B rata-rata 3 tahun prapandemi senilai 1,3x dengan rekomendasi beli.
Selain itu, tiga analis itu yakin laba bersih BBNI akan pulih ke tingkat pra-pandemi pada 2022. Meski demikian, masih ada risiko yang membayangi, seperti: pertumbuhan pinjaman yang lebih lambat, memburuknya kualitas aset, inflasi yang tinggi, dan peningkatan modal ekuitas.