Jakarta, FORTUNE - Di tengah Konflik Iran-Israel yang kian memanas, bagaimana prospek Saham-saham minyak dan gas atau migas?
Letupan konflik antara Iran dan Israel di akhir pekan lalu telah mempengaruhi harga minyak mentah dunia. Dalam dua minggu terakhir, harga minyak mentah Brent telah naik 3--5 persen menjadi US$90 per barel.
Tingkat harga itu sudah lebih tinggi sekitar 6 persen dari perkiraan harga rata-rata minyak Brent proyeksi MASI pada 2024, yakni US$85 per barel.
"Dalam pandangan kami, jika konflik langsung antara Iran dan Israel meletus, harga minyak bisa naik di atas US$100 per barel untuk pertama kalinya sejak Desember 2022-Maret 2023 (musim panas 2022), tak lama sejak invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina yang memicu krisis energi global," jelas Rizkia dalam riset, Rabu (17/4).
Itu lumrah. Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia (MASI), Rizkia Darmawan menilai, gangguan pasokan minyak dalam berbagai bentuk dapat memciu kenaikan harga minyak dan berdampak terhadap harga komoditas secara umum.
Terlebih apabila situasi itu dibarengi dengan kebijakan produksi OPEC+ yang mungkin akan terus memangkas produksi sebagai respons terhadap kondisi ekonomi yang melambat. Tekanan lain terhadap pasokan minyak juga berasal dari serangan Ukraina terhadap kilang minyak Rusia baru-baru ini.
Tak heran, karena Iran merupakan salah satu produsen minyak mentah terbesar global, dengan kontribusi sekitar 3,3 persen terhadap pasokan dunia. Setiap harinya, Iran menghasilkan 3,4 juta barel minyak.
Pada 2023 saja, Iran menjadi sumber pertumbuhan pasokan terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS). Bahkan, pada 2024 ini, IEA memproyeksikan Iran memproduksi minyak tambahan sebesar ~280.000 barel per hari, naik 8 persen (YoY). Cina, yang membutuhkan minyak sekitar 15--16 juta barel per hari, adalah tujuan ekspor utama Iran.
Dampak konflik Iran-Israel terhadap saham migas
Umumnya, melesatnya harga minyak akan berdampak kenaikan harga komoditas lain. Namun, Rizkia mengatakan, dinamika yang terjadi saat ini sangat berbeda dengan eskalasi pertama konflik Rusia-Ukraina pada 2022, karena negara-negara itu lebih terpapar pada komoditas lain, seperti nikel, batu bara, dan komoditas lunak (soft commodity) lainnya.
Dus, MASI menilai, meningkatnya harga komoditas selain emas akan butuh waktu lebih lama. Rizkia menambahkan, "Kami sedang mengkaji dampak dinamika geopolitik dan kenaikan harga minyak terhadap harga komoditas, khususnya komoditas ekspor utama Indonesia."
Kendati demikian, di tengah sentimen itu, MASI masih melihat peluang kenaikan jangka pendek pada saham-saham di sektor komoditas. Itu termasuk saham-saham emiten minyak seperti MEDC dan AKRA; emiten energi seperti ADRO, HRUM, dan ITMG; juga emiten emas seperti ANTM dan MDKA.
Rizkia mengatakan, ANTM berpeluang beroleh manfaat dari sentimen itu, karena bisa mendongkrak volume perdagangan emas ANTM walaupun margin segmen itu rendah. Pada 2024 ini, ANTM sendiri membidik kenaikan volume penjualan emas sebesar 43 persen (YoY) jadi 37,4 ton.
Untuk ADRO, HRUM, dan ITMG, MASI menyebut, kenaikan harga minyak sebesar 1 persen umumnya akan memicu peningkatan harga batu bara 1,7 persen.
"Meskipun kenaikan harga batu bara mungkin tak terjadi dalam waktu dekat, kami yakin para penambang batu bara dengan orientasi ekspor yang kuat akan mendapat keuntungan jika ketegangan geopolitik meningkat," jelas Rizkia.
Pada Rabu pukul 15.10 WIB, saham-saham tersebut tercatat melemah, dengan perincian berikut: AKRA (-2,20 persen), MEDC (-3,70 persen), MDKA (-3,13 persen), ITMG (-5,75 persen), HRUM (-1,60 persen), ADRO (-2,14 persen), dan ANTM (-1,93 persen).