Jakarta, FORTUNE - Sejumlah emiten media melebarkan sayap ke bisnis digital dan platform streaming. Salah satunya dengan meningkatkan investasi ke dalam sektor tersebut sehingga melahirkan transformasi digital.
Platform podcast dan pengelola audio streaming NOICE yang terafiliasi dengan PT Mahaka Media Tbk (MARI) misalnya, belum lama ini menerima suntikan modal dari RANS Entertainment, milik artis dan pengusaha Raffi Ahmad.
Sebelumnya, Grup Emtek sudah lebih dulu menanamkan modal ke PT RANS Entertainment Indonesia (RANS Entertainment) pada November 2021. Konglomerasi media itu membeli 17 persen saham RANS senilai Rp248 miliar melalui entitas anak PT Surya Citra Media Tbk (SCMA).
Ada pula PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) yang mantap untuk mengonsolidasikan aset digital di bawah naungan MSIN pada 2022. “Tidak lama lagi, saya sangat yakin bahwa pasca-konsolidasi, MNCN dan MSIN akhirnya mendapatkan peniilaian yang layak di pasar modal,” begitu kata Executive Chairman MNC Group, Hary Tanoesoedibjo dalam keterbukaan informasi pada Januari 2022.
Konsumsi Media Bergeser ke OTT
Equity Analyst Sinarmas Sekuritas, Aryana Paramita melihat adanya transformasi konsumsi media sepanjang pandemi Covid-19. Memang, televisi tipe FTA (free to air) masih memimpin, tetapi platform digital (seperti pay tv, OTT, dan VOD) menarik minat besar belakangan ini.
Itu terjadi karena persepsi umum yang menganggap Generasi Milenial dan Z lebih jarang menonton TV ketimbang serial dan film yang bisa diakses kapan saja—khususnya melalui ponsel.
Secara khusus, Aryana menilai layanan Over The Top (OTT)—yang kini masih bertumbuh—bakal jadi kontributor utama bagi industri media. Sejumlah konglomerasi media kini sudah memiliki layanan OTT, sebut saja Emtek dengan Vidio.com, MNCN dengan RCTI+.
Akan tetapi, kecepatan internet masih menjadi tantangan tersendiri bagi pasar OTT, apalagi di tengah peningkatan jumlah platform dan penggunanya. Begitu pula dengan pembajakan konten di internet. Tantangan lainnya, yakni: pengguna yang relatif lebih setia dengan konten ketimbang platform.
“Artinya, mereka menggunakan beberapa platform untuk beralih konten untuk ditonton. Sehingga sangat penting untuk mempertahankan pelanggan agar mengonsumsi lebih banyak konten,” papar Aryana.
Tidak heran jika emiten media FILM (MD Pictures) mengamankan lisensi kontrak multitahunan dengan platform-platform OTT besar, termasuk di antaranya Disney+ Hotstar, Viu, WeTV, Netflix, iFlix, MOX, MAXStream, dan iTunes.
Penayangan konten di platform digital bahkan menjadi salah satu siasat FILM dalam mendiversifikasi sumber pendapatan. Mereka telah mengembangkan sayap digital itu sejak 2017.
“Hasilnya, saluran digital FILM mencetak 85,8 persen dari total pendapatan terdistribusi pada kuartal ketiga 2021,” tulis Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Christine Natasya dalam risetnya di awal Februari ini.
Christine yakin keuntungan pasar OTT ke depannya begitu besar. Terlebih kini banyak pemain yang ekspansi ke pasar itu. Berdasarkan data Markets and Markets, ukuran pasar OTT Indonesia mencapai US$360 juta (2019) dan diproyeksikan akan menyentuh nilai US$4,45 miliar pada 2027.
Bahkan, konglomerat raksasa teknologi Cina, Tencent Holdings mengakuisisi 14,62 persen saham FILM pada Q4 2021. Itu menggambarkan cerahnya pasar platform OTT Tanah Air di masa depan. Dengan catatan, tantangan yang telah disebutkan tadi bisa teratasi dengan baik.
Oleh karena itu, Aryana dari Sinarmas menetapkan target price 2022 di level 1.300 untuk MNCN dan 390 untuk SCMA. “Kami berharap platform OTT RCTI+ dan Vidio.com menjadi pendorong pertumbuhan perusahaan-perusahaan itu pada tahun ini,” ujarnya.
Kian Erat dengan Dunia Gim
Dari segi industri, media kini kian erat dengan industri hiburan yang diramaikan oleh gim dan olahraga elektronik alias esports. “Karena itu, mulai 2022, kami berekspekstasi industri esports dan media dapat bekerja sama dalam memenuhi permintaan pasar dengan lebih baik,” kata Aryana dalam risetnya pertengahan Januari 2022.
Apalagi, industri gim dan esports di Indonesia akan menjadi salah satu tren di Indonesia. Dengan pemain gim lokal sebanyak 52 juta, Indonesia menduduki posisi ke-17 dalam pasar gim dunia. Bahkan nomor satu di Asia Tenggara. Tak heran jika akhirnya berbagai media besar mulai ingin menjajal pasar itu.
Menurut Aryana, industri gim menguntungkan karena para pengembang bisa memperoleh pendapatan dari transaksi dalam aplikasi dan biaya iklan. Terlebih, berdasarkan laporan InMobi, pemain gim lokal cenderung toleran terhadap iklan—khususnya yang bisa menguntungkan permainannya.