Jakarta, FORTUNE - PT Mandiri Sekuritas memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (Ihsg) mencapai 8.150 pada akhir tahun 2025.
Head of Equity Market Analyst and Strategy Mandiri Sekuritas, Adrian Joezer menambahkan, target IHSG itu disertai dengan pergerakan di rentang 8.590/7.140.
Proyeksi itu didasari oleh sentimen dari fenomena the waiting game atau menunggu kondisi lebih pasti di pasar saham, khususnya di tengah ketidakpastian global dan domestik. IHSG pun akan menghadapi tekanan strategi bottom-up.
"Kami mendorong para investor berkonsentrasi pada area di mana perputaran uang akan meningkat, seiring dengan bertambahnya kebutuhan pendanaan menghadapi kondisi likuiditas yang masih ketat, dan volatilitas yang besar mungkin akan terus terjadi sampai adanya kepastian yang lebih besar," jelas Joezer.
Adapun, sektor-sektor pilihan Mandiri Sekuritas pada awal 2025 adalah konsumsi, pangan, properti, telekomunikasi, transportaasi, dan ritel. Lalu di kuartal II, sektor-sektor yang disoroti adalah perbankan, otomotif, dan ritel.
Pada 2024, Mandiri Sekuritas memprediksi IHSG mencapai level 7.800. Per Jumat (22/11), IHSG berada di level 7.199,45, naik 0,82 persen dari level penutupan Kamis (21/11), 7.140,91.
Terkait Produk Domestik Bruto (Pdb), Mandiri Sekuritas memproyeksikan pertumbuhan stabil di kisaran 5,1 persen pada 2025. Katalisnya adalah pemulihan permintaan domestik atau konsumsi rumah tangga, kinerja ekspor yang terpengaruh perlambatan ekonomi global, dan potensi tarif impor Amerika Serikat (AS) yang lebih tinggi untuk barang-barang dari TIongkok dan negara-negara lain.
Chief Economist Mandiri Sekuritas, Rangga Cipta juga memproyeksikan inflasi yang rata-rata mencapai 2,6 persen pada 2025, naik dari 2,3 persen di 2024. Penyebabnya adalah efek pasar yang rendah dari inflasi inti yang lemah dan tarif PPN lebih tinggi hingga 12 persen di 2025.
“Nilai tukar rupiah pada tahun 2025 diproyeksikan rata-rata Rp15.700 per dolar AS yang mencerminkan sedikit apresiasi dari 2024. Terbatasnya ruang apresiasi rupiah mencerminkan dolar AS yang terjaga berkat kekuatan kebijakan Trump yang ke arah inflasi, namun tetap protektif baik secara fiskal
maupun perdagangan internasional,” jelas Rangga.