Jakarta, FORTUNE - Sejumlah emiten produk susu (dairy) Indonesia memiliki prospek bisnis menarik seiring dengan keterlibatan para private equity sebagai pemegang saham. Meski begitu, ada pula sejumlah tantangan dan faktor risiko yang membayangi kinerja sektor tersebut. Apa sajakah itu?
Dalam tiga tahun terakhir, sejumlah ekuitas swasta global mulai menanamkan modal di perusahaan produk susu di Tanah Air. PT Cisarua Mountain Dairy Tbk (CMRY) misalnya, yang 5,64 persen sahamnya dibeli General Atlantic pada Januari 2023. Lalu ada PT Mulia Boga Raya Tbk (KEJU) yang 18,13 persen sahamnya diakuisisi oleh CVC pada Juli 2022.
Jauh sebelum itu, TPG dan Northstar juga membeli 80 persen saham Greenfields Dairy Singapore Pte. Ltd (GDS), anak usaha Japfa Ltd yang beroperasi di Indonesia, Malaysia, dan Hong Kong.
Sektor industri tersebut memiliki magnet tersendiri. Dari segi valuasi misalnya, riset Stockbit menyebutkan, secara rasio price to earning (P/E), valuasi emiten produk susu di Indonesia masih di bawah rata-rata valuasi para pemain global nilai 45,8 kali per 30 Mei 2023.
Rasio P/E emiten produk susu tertinggi di Indonesia ditempati oleh CMRY (32,8 kali), disusul oleh Diamond Food (19,0 kali), KEJU (14,0 kali), PT Ultrajaya Milk Industry Tbk (ULTJ) (13,7 kali).
Dengan demikian, bagaimana peluang dan tantangan bagi para emiten produk susu ke depan?
Prospek emiten produk susu di 2023
Dalam jangka pendek, para emiten produk susu berpotensi mendulang momentum pertumbuhan karena dua katalis. Pertama, kenaikan daya beli dan pelonggaran mobilitas.
Kenaikan daya beli disinyalir bisa terjadi seiring kenaikan upah minimum pada 2023, setelah tertekan inflasi tahun lalu. Penghapusan PPKM pun berpotensi mendongkrak volume penjualan. Selain itu, inovasi atau lahirnya varian-varian baru produkk susu seperti yang CMRY lakukan, juga bisa meningkatkan penjualan emiten.
Selain itu, ada juga katalis terkait peluang pertumbuhan margin laba. Pada kuartal pertama 2023, margin laba bersih tertinggi dipegang oleh CMRY, yakni 16,3 persen. Disusul oleh ULTJ sebesar 15,9 persen dan KEJU sebesar 11,3 persen.
Peluang itu terjadi seiring mulai turunnya harga bahan baku susu sekitar 30 persen sejak puncaknya sekitar Mei 2022, menurut analisis tim riset Stockbit Academy. Selain itu, emiten bisa meningkatkan harga jual seiring dengan kenaikan daya beli. Contoh, ULTJ yang berniat menaikkan harga sekitar 8–9 persen pada 2023.
Prospek industri susu semakin cerah bila menilik tren konsumsi susu di Indonesia terus tumbuh, dengan rata-rata pertumbuhan (CAGR) 6 persen pada periode 2000–2021. Pengeluaran per kapita untuk produk susu pun diproyeksi bertumbuh dengan CAGR 7,5 persen pada periode 2020–2025.
Meski begitu, masih ada ruang pertumbuhan bagi industri karena tingkat konsumsi susu di Indonesia masih lebih rendah daripada negara lain, baik secara regional maupun global. Hanya 12 kg, jauh dari Cina (25 kg), India (64 kg), Jepang (70 kg), dan negara-negara lain.
Selain itu, mayoritas bahan baku susu masih diimpor, sebab produksi susu segar di Indonesia hanya bisa mencukupi 22 persen dari kebutuhan nasional.
Ke depan, industri juga bisa mengembangkan bagian hulu. “Jika berhasil, hal ini dapat mengurangi ketergantungan bahan baku susu impor sehingga harga jual ritel susu dapat menjadi lebih murah dan konsumsi semakin meningkat,” jelas Tim Riset Stockbit, Bayu Santoso dan Hendriko Gani.
Namun, hal itu bagai pedang bermata dua. Sebab itu juga termasuk dalam faktor risiko, seandainya pengembangannya terhambat.