Jakarta, FORTUNE - Kegiatan initial public offering atau IPO global pada semester pertama 2023 menurun, berdasarkan laporan Global IPO Trends Q2 2023 dari Ernst & Young (EY).
Secara total, terdapat 615 transaksi senilai US$60,9 miliar selama periode tersebut. Jumlah transaksi dan nilainya masing-masing terkoreksi 5 persen dan 36 persen (YoY) dari periode serupa pada 2022.
"Penawaran lebih besar terjadi di pasar pada kuartal kedua 2023 dibandingkan kuartal pertama, walaupun pemulihannya lambat. Hasil ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi global yang lebih lambat, kebijakan moneter yang ketat, dan kenaikan ketegangan politik," tulis EY dalam risetnya, dilansir Kamis (27/7).
Sektor teknologi masih menjadi yang utama dalam kegiatan IPO sepanjang semester awal 2023. Di sisi lain, IPO dari sektor energi menurun akibat normalisasi harga energi global.
Permintaan IPO di Asia Pasifik dan Asia Tenggara
Secara internasional, 60 persen langkah IPO di paruh pertama 2023 berasal dari pasar Asia Pasifik. Karena itulah, wilayah ini masih memimpin volume dan nilai IPO global. Lebih detail, setengah dari 10 IPO global terbesar datang dari Cina. Lalu ada satu dari Jepang.
Kendati begitu, total volume dan nilai IPO di Asia Pasifik tercatat menurun dibandingkan paruh pertama 2022. Dari total 371 IPO, nilai kumulatifnya hanya US$39,4 miliar. Keduanya menurun masing-masing 2 persen dan 40 persen.
"Perolehan dana IPO yang turun signifikan terjadi karena pasar IPO Cina lebih lambat dari perkiraan, dengan banyak IPO jumbo yang menunggu antrean," kata EY.
Lantas, bagaimana dengan IPO di pasar negara berkembang? Berdasarkan laporan serupa, EY justru melihat adanya pertumbuhan aksi IPO di sejumlah negara. Mengapa demikian? Karena adanya permintaan global terhadap sumber daya mineral negara-negara tersebut, populasi besar, beserta kenaikan jumlah unikorn dan UMKM.
Lebih lanjut, khusus di Asia tenggara, IPO tercatat mengalami kenaikan di kuartal kedua 2023. Baik dari segi volume maupun nilai. Total IPO di Asia Tenggara bertumbuh 26 persen (YoY0 menjadi 82, dari sebelumnya 65. Sementara nilainya meningkat 31 persen menjadi US$3,3 miliar, dari sebelumnya US$2,5 miliar.
Bahkan, Indonesia tercatat melampaui Hong Kong pada peringkat bursa saham global berdasarkan volume. Per 25 Juli 2023, sudah ada 51 emiten yang masuk ke Bursa Efek Indonesia. Jumlah itu hanya kurang 8 emiten dari jumlah perusahaan yang IPO sepanjang 2022, yakni 59.