Jakarta, FORTUNE - Di tengah risiko resesi global dan fluktuasi pasar domestik, jenis investasi apa yang bisa jadi alternatif pilihan? Bank Commonwealth dan Manulife Aset Manajemen Indonesia punya jawabannya.
Menurut Head of Research and Advisory Bank Commonwealth, Thadly Chandra, ekonomi globam masih dibayangi oleh fenomena global seperti pengencangan kebijakan moneter, inflasi, serta konflik geopolitik masih akan berlanjut.
“Di kondisi itu, investasi kelas aset pendapatan tetap seperti obligasi pemerintah atau reksa dana pendapatan tetap lebih aman, karena tingkat risiko lebih rendah, tapi tetap berpeluang berikan imbal hasil,” jelas Thadly dalam keterangan resmi, Jumat (16/12).
Sementara itu, Chief Economist and Investment Strategist Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan mengatakan, di tengah tren kenaikan suku bunga, instrumen dengan risiko lebih rendah jadi opsi bagi investor.
“Reksa dana pendapatan tetap akan outperform atau kinerjanya baik [di tengah kondisi itu. Tapi, setelah Th Fed capai terminal rate [suku bunga tertinggi] maka investor bersedia masuk ke instrumen lain [dengan risiko lebih tinggi],” jelasnya di konferensi pers virtual, Kamis (15/12).
Jadi, di awal 2023, ia memproyeksi obligasi akan jadi alternatif investasi instrumen lebih dulu, lalu akan beralih ke reksa dana saham saat kondisi sudah lebih stabil.
Memilih saham blue chip
Meski begitu, Thadly menambahkan, secara bertahap investor bisa mengakumulasi investasinya di kelas aset ekuitas, saat terjadi koreksi. Dengan metode dollar cost averaging, ia menyebut reksa dana saham dapat jadi pilihan.
Lebih lanjut, menurutnya pasar saham masih menarik sebab tingginya harga komoditas menyokong pertumbuhan ekonomi nasional. Ditambah dengan aktivitas ekonomi yang kembali naik serta pertumbuhan konsumsi–khususnya di bidang pariwisata.
“Secara historis, saat inflasi naik dan ada risiko resesi, saham-saham blue chip berfundamental kuat seperti sektor konsumer dan perbankan tetap berkinerja baik. Sektor konsumer relatif lebih resilien terhadap ancaman resesi karena masyarakat tetap penuhi kebutuhan dasar,” jelas Thadly.
Susun sesuai profil risiko
Tapi, semua kembali pada profil risiko masing-masing investor. Thadly menyebut, yang berprofil risiko tinggi (agresif) dan membidik pertumbuhan dapat meningkatkan porsi reksa dana saham sampai 80 persen dari portofolio investasi.
Untuk profil sedang (moderat), dapat menetapkan 50 persen investasi di reksa dana pendapatan tetap, 30 persen reksa dana saham, dan 20 persen pasar uang. Lalu, investor berprofil rendah bisa mengatur portofolio meliputi 60 persen investasi reksa dana pendapatan tetap, 30 persen pasar uang, dan 10 persen reksa dana saham.
Ia berujar, “Investor harus hati-hati menyusun portofolio investasi. Sebaiknya sesuaikan dengan profil risiko dan tujuan keuangan.”
Katarina juga menyarankan agar investor mendiversifikasi aset investasinya. Jangan hanya fokus pada satu ‘keranjang’ investasi.