Booming Harga Batu Bara, Adaro Energy Cetak Rekor Laba Bersih Rp38 T
Pendapatan ADRO pada 2022 bahkan tembus Rp123,80 triliun.
Jakarta, FORTUNE - Emiten batu bara, PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) mencatat rekor kinerja profitabilitas sepanjang 2022. Perusahaan membukukan laba bersih US$2,49 miliar atau sekitar Rp38,10 triliun (asumsi kurs Rp15,316/US$) pada 2022, tumbuh 167,2 persen bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Presiden Direktur dan CEO Adaro Garibaldi Thohir mengatakan, perusahaan berhasil mencatat rekor kinerja tertinggi di industri pertambangan. Pendapatan Adaro naik lebih dua kali lipat menjadi US$8,1 miliar atau sekitar Rp123,80 triliun berkat operasi yang baik dan efisien, serta didukung kenaikan signifikan dari volume penjualan dan harga batu bara.
Penjualan batu bara Adaro sepanjang 2022 tumbuh 19 persen menjadi 61,34 juta ton dari 51,58 juta ton pada tahun sebelumnya. Hal itu juga diikuti dengan naiknya rata-rata harga jual (ASP) produk perseroan sebesar 74 persen dibandingkan 2021.
"Sehingga EBITDA operasional kami di 2022 melonjak 139 persen menjadi US$5,03 miliar dari US$2,10 miliar secara tahunan," katanya dikutip dari keterangan resmi, Jumat (3/3).
Pengusaha yang kerap dipanggil Boy Thohir itu menambahkan, profitabilitas yang tinggi tersebut akan mendukung perusahaan mempercepat proyek-proyek transformasi dan membangun Adaro yang lebih besar dan lebih ramah lingkungan.
Target kinerja dan investasi 2023
Adapun untuk tahun ini, Adaro menargetkan volume penjualan batu bara mencapai 62 juta ton sampai 64 juta ton. Jumlah itu terdiri dari 58-60 juta ton batu bara termal dan 3,8- 4,3 juta ton batu bara metalurgi yang berasal dari anak usahanya, Adaro Minerals Indonesia (ADMR).
Volume produksi ADMR, Balangan Coal Companies dan PT Mustika Indah Permai diperkirakan akan meningkat pada tahun ini Angka ini tidak termasuk target tambang Kestrel sebesar 6 juta ton. Nisbah kupas 2023 diperkirakan mencapai 4,2x.
Untuk mendukung ekspansinyaa tahun ini, perusahaan mengalokasikan belanja modal US$400 hingga US$600 juta. Belanja modal ini akan digunakan untuk pengeluaran belanja modal rutin dan ekspansi, terutama untuk bisnis pertambangan, jasa dan logistik.
"Angka belanja modal ini belum termasuk belanja modal untuk proyek bisnis transformasi di Kaltara," katanya.