Emiten Tambang Berpeluang Raup Untung dari Proyek Hilirisasi Rp618 T

- Emiten energi dan tambang berpeluang mendapatkan katalis positif dari proyek hilirisasi pemerintah.
- Emitten BUMN dan swasta akan mendapat keuntungan dari proyek tersebut.
- Potensi lonjakan pendapatan emiten dalam 3-5 tahun ke depan.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah resmi menggulirkan 18 proyek hilirisasi prioritas dengan total nilai Rp618,13 triliun. Langkah strategis ini membuka peluang keuntungan besar bagi sejumlah emiten energi dan pertambangan, tapi sekaligus menghadirkan risiko investasi yang perlu dicermati secara saksama.
Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional telah menyerahkan pra-studi kelayakan untuk seluruh proyek tersebut kepada Badan Pengelola Investasi Danantara pada 22 Juli 2025. Danantara akan memfasilitasi pembiayaan dalam bentuk ekuitas, sindikasi, atau obligasi dengan skema terbuka untuk BUMN maupun swasta.
Dari total nilai investasi, sebanyak 12 proyek berkaitan langsung dengan sektor energi dan tambang. Proyek-proyek tersebut meliputi pengembangan smelter nikel dan bauksit, gasifikasi batu bara menjadi DME, kilang batu bara (coal refinery), modul surya terintegrasi, serta fasilitas pengolahan katoda tembaga.
Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia, menilai langkah pemerintah ini akan menjadi katalis positif yang signifikan.
Sejumlah emiten BUMN diproyeksikan mendapat keuntungan besar. Di antaranya adalah PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang akan menjalankan proyek smelter, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) melalui proyek gasifikasi DME, serta PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) yang terlibat dalam proyek pendukung smelter aluminium.
“Hilirisasi smelter bauksit/nikel, DME, modul surya, refinery, dan lainnya jika terealisasi akan mengurangi ketergantungan pada ekspor mentah dan meningkatkan margin karena menjual produk bernilai tinggi seperti copper rod atau stainless steel slab,” ujar Liza dalam risetnya, Kamis (24/7).
Peluang serupa juga terbuka bagi emiten swasta. PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN), PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA), PT Harum Energy Tbk (HRUM), dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) berpeluang besar meraih keuntungan jika mampu membangun fasilitas dan menjalin kemitraan strategis.
“Contohnya, MDKA dan AMMN di sektor tembaga, HRUM dan NCKL di nikel, DSSA di energi terbarukan,” ujarnya.
Liza mencermati, emiten-emiten tersebut berpotensi mengalami lonjakan pendapatan signifikan setelah proyek memasuki fase operasional penuh, diperkirakan dalam 3-5 tahun ke depan. Namun, realisasinya sangat bergantung pada penyerapan belanja modal (capex), efisiensi operasional, dan skala produksi masing-masing perusahaan.
Meski menjanjikan keuntungan, Liza mengingatkan adanya sejumlah risiko besar yang membayangi proyek hilirisasi energi ini. Salah satu yang utama adalah potensi pembengkakan biaya investasi.
Menurutnya, proyek smelter, DME, dan kilang membutuhkan investasi miliaran dolar yang biayanya dapat membengkak jika terjadi kendala teknologi atau pasokan infrastruktur.
Selain itu, emiten juga dihadapkan pada risiko lain, seperti:
Kebutuhan kolaborasi: Akses terhadap teknologi canggih dan pendanaan masif menuntut adanya kerja sama dengan mitra strategis.
Risiko oversupply: Peningkatan produksi secara serentak berpotensi menyebabkan kelebihan pasokan di pasar, sehingga dapat menekan harga jual produk hilir.
Isu non-teknis: Proyek skala besar kerap menghadapi tantangan pembebasan lahan, isu sosial dengan masyarakat sekitar, serta masalah lingkungan yang kompleks.
Beban keuangan: Apabila proyek dibiayai secara dominan oleh utang, tekanan bunga dan beban pada arus kas dapat memburuk sebelum proyek menghasilkan pendapatan.
Oleh sebab itu, Liza mengimbau para emiten untuk cermat dalam menyusun struktur pembiayaan. Ia menyarankan penggunaan skema campuran yang seimbang antara ekuitas, penerbitan obligasi global, dan penarikan dana dari sovereign wealth fund seperti Danantara untuk menjaga kesehatan finansial.