Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Harga Minyak Naik Usai Israel Gempur Iran, Berapa Kenaikannya?

Harga minyak naik usai israel gempur iran.png
Ilustrasi harga minyak naik (freepik.com/Sergeychuyko)
Intinya sih...
  • Harga minyak melonjak lebih dari 7 persen dalam sehari, mencapai level tertinggi sejak Januari 2025.
  • Ancaman gangguan pasokan minyak dari Iran dan Israel dapat memicu krisis pasokan global yang lebih luas.
  • Ketidakpastian tinggi terkait kondisi infrastruktur energi Iran, investor global mengalihkan aset ke instrumen yang dianggap lebih stabil.

Jakarta, FORTUNE - Serangan saling balas antara Israel dan Iran mengguncang pasar energi dunia. Pasalnya, harga minyak naik usai Israel gempur Iran pada Jumat (13/6). Hal itu memicu ketegangan baru di kawasan Timur Tengah. 

Serangan Israel ke Iran menambah eskalasi konflik geopolitik sekaligus memunculkan kekhawatiran di pasar energi global. Simak dampaknya terhadap harga energi dan kondisi geopolitik global berikut ini.

Harga minyak naik usai Israel gempur Iran

Harga minyak jenis Brent naik lebih dari 7 persen dalam sehari, ditutup pada US$74,23 per barel atau sekitar Rp1,19 juta. Bahkan, Brent sempat menyentuh level tertinggi sejak Januari 2025, yaitu US$78,50 per barel.

Minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) juga mengalami lonjakan signifikan. Harga penutupan tercatat sebesar US$72,98 per barel atau sekitar Rp1,17 juta. Kenaikan harian mencapai 7,62 persen. 

WTI sempat melonjak hingga US$77,62 per barel. Hal ini merupakan level tertinggi sejak awal 2022 saat invasi Rusia ke Ukraina mengguncang pasar global.

Kenaikan tajam harga minyak mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap potensi terganggunya pasokan minyak dunia, khususnya dari Iran. Terlebih, Iran merupakan produsen utama dengan kapasitas produksi sekitar 3,3 juta barel per hari dan ekspor lebih dari 2 juta barel per hari.

Ancaman gangguan pasokan dari Iran dan Selat Hormuz

Israel dilaporkan menargetkan beberapa fasilitas strategis Iran, termasuk lokasi yang dikaitkan dengan program nuklir dan pabrik rudal. Iran membalas dengan meluncurkan rudal ke Tel Aviv yang menyebabkan kerusakan di sejumlah area.

Meski pemerintah Iran menyatakan bahwa produksi minyak tetap berjalan normal, kekhawatiran akan terganggunya distribusi pasokan tetap tinggi. Fokus utama tertuju pada Selat Hormuz, jalur laut sempit yang dilalui sekitar 20 persen pasokan minyak dunia atau sekitar 18–19 juta barel per hari.

Iran sebelumnya telah mengancam akan menutup selat tersebut jika serangan terhadap wilayahnya terus berlanjut. Jika hal ini benar terjadi, distribusi minyak dari Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Irak akan terganggu secara signifikan.

Komoditas energi lain ikut menguat

Dampak konflik juga terasa pada komoditas energi lainnya. Efek substitusi energi mendorong lonjakan harga di berbagai sektor. Harga batu bara naik 1,3 persen menjadi US$108,95 per ton, tertinggi dalam tiga bulan.

Harga gas alam di pasar Eropa melonjak 5,6 persen ke €38 per megawatt-hour (MWh). Sementara itu, harga minyak sawit mentah (CPO) turut menguat 2,3 persen menjadi MYR 3.927 per ton.

Naiknya harga komiditas energi juga mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap ketahanan energi global. Ketika harga minyak melonjak, konsumen cenderung mencari alternatif lain. Sehingga, hal tersebut mendorong permintaan dan harga energi substitusi ikut naik.

Menurut Jorge Leon selaku analis Rystad Energy, dalam laporannya pada Reuters, bila Iran benar-benar menutup Selat Hormuz atau menyerang infrastruktur minyak negara tetangga, harga minyak bisa melambung lebih dari US$20 per barel. Kenaikan tersebut diperkirakan akan memperburuk tekanan inflasi global dan menghambat pemulihan ekonomi dunia.

Ketidakpastian masih tinggi

Hingga kini belum ada laporan resmi terkait kerusakan serius pada infrastruktur energi Iran. Namun, eskalasi yang terus meningkat membuat pasar tetap dalam kondisi siaga tinggi. Setiap serangan lanjutan berpotensi memperparah kondisi dan memperlebar dampaknya ke sektor-sektor lain.

Dalam situasi ini, investor global mulai mengalihkan aset ke instrumen yang dianggap lebih stabil, seperti emas, dolar AS, dan franc Swiss. Mereka meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi krisis keuangan dan ekonomi.

Peran negara-negara produsen utama seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan pasokan. Koordinasi bersama negara-negara OPEC+ serta lembaga internasional dibutuhkan untuk menekan eskalasi dan mencegah krisis energi global.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ana Widiawati
Tubagus Imam Satrio
Ana Widiawati
EditorAna Widiawati
Follow Us