Hanya Indonesia yang Mampu Mengendalikan Harga Nikel
Indonesia kunci stabilisasi harga nikel global tahun 2025.
Fortune Recap
- Harga nikel global turun tajam pada akhir 2024, dipengaruhi oleh kelebihan pasokan Indonesia.
- Produksi nikel Indonesia meningkat pesat, memindahkan surplus pasokan ke pasar perdagangan utama.
- Peningkatan stok nikel di LME dan permintaan baterai kendaraan listrik yang belum optimal menjadi tantangan bagi Indonesia.
Jakarta, FORTUNE - Harga Nikel global mengalami penurunan tajam pada akhir tahun 2024 atau mencapai level terendah dalam empat tahun terakhir. Kondisi ini berbeda dengan 2022, ketika harga nikel hampir mencatat rekor di London Metal Exchange (LME).
Penurunan ini sebagian besar dipengaruhi oleh kelebihan pasokan yang dihasilkan oleh Indonesia, yang telah memproduksi nikel dalam jumlah jauh lebih besar dibandingkan dengan permintaan pasar. Hal ini menyebabkan harga logam tersebut terpuruk, dan kini masa depan pasar nikel pada 2025 sangat bergantung pada kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengelola kelebihan produksi ini.
Untuk mendongkrak harga nikel, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahkan berencana mengurangi kuota produksi bijih nikel menjadi 200 juta metrik ton pada 2025, lebih rendah dibandingkan rencana sebelumnya sebesar 240 juta metrik ton.
Langkah ini, menurut laporan Reuters, telah memicu peningkatan harga di awal tahun 2025, dengan nikel LME-3 bulan naik sebesar 3 persen. Namun, dampak jangka panjangnya terhadap pemulihan pasar masih perlu dicermati lebih lanjut.
Dominasi Produksi Nikel oleh Indonesia
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah menjadi pemain utama dalam produksi nikel global. Data dari Biro Statistik Logam Dunia menunjukkan bahwa produksi nikel Indonesia meningkat pesat, dari 358.000 ton pada 2017 menjadi 2,2 juta ton pada 2023. Angka ini setara dengan lebih dari setengah permintaan global pada periode tersebut.
Awalnya, kelebihan pasokan ini mengarah pada pasar kelas II, yaitu bahan mentah yang digunakan untuk baja tahan karat seperti besi kasar nikel. Namun, dalam dua tahun terakhir, terjadi perubahan signifikan.
Dengan bantuan teknologi dari Tiongkok, sumber daya nikel berkualitas rendah di Indonesia kini dapat diolah menjadi produk Kelas I, seperti sulfat nikel dan logam olahan dengan tingkat kemurnian tinggi. Transformasi ini memindahkan surplus pasokan dari pasar Kelas II ke pasar perdagangan utama yang lebih terpantau.
Peningkatan Stok Nikel di LME
Seiring perubahan tersebut, sejumlah merek nikel Tiongkok dan Indonesia mulai terdaftar di LME sejak 2022. Peningkatan jumlah inventaris di LME menjadi salah satu faktor penurunan harga.
Stok LME yang semula rendah pada Maret 2022, yakni di bawah 40.000 ton untuk pertama kalinya sejak 2007, melonjak menjadi 172.206 ton pada akhir 2024 terdorong oleh pengiriman dari Tiongkok dan Indonesia.
Tidak hanya itu, stok nikel di bursa lainnya juga mengalami peningkatan. Misalnya, Shanghai Futures Exchange mencatat level tertinggi dalam lima tahun terakhir sebesar 35.327 ton pada akhir 2023. Secara keseluruhan, total stok nikel di bursa global mencapai hampir 230.000 ton pada November 2023, level tertinggi sejak 2021.
Kondisi ini menguntungkan pasar bursa, karena peningkatan stok fisik membantu meningkatkan kepercayaan dan aktivitas perdagangan. Namun, bagi produsen nikel di luar Indonesia dan Tiongkok, lonjakan stok ini justru menekan harga lebih rendah.
Permintaan Baterai yang Belum Optimal
Sementara itu, sektor baja tahan karat yang masih menjadi konsumen terbesar nikel mencatat kinerja positif pada 2024. Produksi baja global naik 6,3 persen year-on-year (yoy) pada paruh pertama tahun tersebut, menurut asosiasi industri worldstainless. Namun, penggunaan nikel untuk baterai kendaraan listrik (EV) tidak memenuhi ekspektasi.
Meskipun penjualan kendaraan listrik global tumbuh 25 persen pada 2025, sebagian besar pertumbuhan ini berasal dari Tiongkok, di mana produsen kendaraan semakin beralih ke baterai berbasis litium-besi-fosfat yang tidak memerlukan nikel.
Di pasar Barat, produsen mobil tetap menggunakan nikel untuk baterai, tetapi pertumbuhan penjualan kendaraan listrik hanya mencapai 9 persen di Amerika Utara dan bahkan turun 3 persen di Eropa pada 2024.
Kecenderungan konsumen untuk memilih mobil hibrida, yang membutuhkan baterai lebih kecil dibandingkan kendaraan listrik penuh, turut memengaruhi permintaan nikel. Menurut laporan Adamas Intelligence, jumlah rata-rata nikel yang digunakan per baterai kendaraan penumpang pada November 2024 turun 16 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Meski demikian, ada harapan bahwa penjualan kendaraan listrik di Eropa akan kembali meningkat pada 2025, seiring diberlakukannya aturan emisi yang lebih ketat. Namun, di Amerika Utara, kebijakan terkait subsidi kendaraan listrik masih menghadapi ketidakpastian.
Tantangan dan Peluang bagi Indonesia
Sebagai produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengontrol harga nikel global. Namun, kemampuan ini memerlukan pendekatan yang hati-hati. Pemotongan kuota bijih nikel yang direncanakan pada 2025 menunjukkan bahwa pemerintah sadar akan risiko harga yang terlalu rendah, bahkan bagi produsen di dalam negeri.
Langkah berikutnya adalah menyesuaikan tingkat produksi dengan permintaan pasar yang dinamis, terutama dalam sektor baterai kendaraan listrik yang terus berkembang. Disiplin pasokan menjadi kunci keberhasilan. Tanpa upaya kolektif untuk mengendalikan produksi, pemulihan harga nikel secara berkelanjutan akan sulit tercapai.
Dengan dominasi pasar yang dimilikinya, Indonesia berada pada posisi unik untuk memengaruhi harga nikel global. Namun, tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan posisi tersebut tanpa merugikan stabilitas pasar dan sektor industrinya sendiri. Kebijakan yang tepat tidak hanya akan mendukung pemulihan harga nikel, tetapi juga memastikan keberlanjutan sektor ini di masa depan.