Likuiditas Sulit, Pasar Properti Tiongkok Diprediksi Baru Pulih 2022
Fitch Ratings bahkan menaksir pasar baru pulih akhir 2022.
Jakarta, FORTUNE - Penurunan pasar properti di Tiongkok diperkirakan masih akan berlanjut hingga semester pertama tahun depan. Sektor properti—yang merupakan pendorong utama terhadap pertumbuhan ekonomi negara tersebut—saat ini mengalami penurunan baik dari sisi harga maupun investasi pembangunan baru.
Seperti dikutip Reuters, Jumat (3/12), sektor properti Tiongkok telah menghadapi perlambatan yang tajam dalam beberapa bulan terakhir. Sentimen peraturan ketat serta krisis likuiditas yang telah melanda sejumlah pengembang, salah satunya Evergrande Group.
Berdasarkan jajak pendapat Reuters, harga rumah rata-rata diperkirakan turun 1,0 persen pada paruh pertama 2022. Untuk tahun ini, harga rumah diperkirakan naik 2,6 persen, namun turun dari 3,5 persen pada perkiraaan sebelumnya. Pada 2020, harga rumah masih naik 4,9 persen.
"Tren penurunan harga rumah telah muncul karena kuota yang ketat pada pinjaman rumah, kekhawatiran tentang pajak properti, dan permintaan yang lemah," kata Chen Shen, seorang analis dari Huatai Securities.
Dari sisi permintaan, penjualan properti berdasarkan luas lantai diperkirakan turun 16 persen pada semester pertama 2022, dibandingkan dengan kenaikan 27,7 persen pada periode sama tahun sebelumnya. Prospek sisi penawaran juga suram, dengan investasi properti terlihat turun 3,0 persen, dibandingkan dengan kenaikan 15 persen sebelumnya.
Fitch Ratings menambahkan iklim bisnis untuk pengembang Tiongkok kemungkinan masih menantang, dengan perbaikan pembiayaan kemungkinan baru terjadi menjelang semester kedua tahun depan. Menurut lembaga pemeringkat internasional tersebut, potensi terjadinya default atau pertukaran utang yang tertekan juga masih bisa berlanjut.
“Fitch memperkirakan penurunan 10 sampai 15 persen tahun-ke-tahun dalam volume penjualan tahunan, dengan penurunan harga jual rata-rata sekitar 5 persen. Pemulihan kepercayaan pembeli rumah dan kreditur adalah kuncinya,” demikian pernyataan Fitch Ratings dalam rilisnya.
Risiko tinggi
Penurunan cepat pasar properti di Tiongkok telah mendorong spekulasi bahwa pembuat kebijakan mungkin mulai menyesuaikan kembali pembatasan ketat pada pembeli maupun pengembang. Bahkan, pembuat kebijakan juga diprediksi akan memangkas suku bunga jika taruhannya adalah penurunan pertumbuhan ekonomi.
"Kota-kota akan melonggarkan pembatasan pembelian, penjualan, pinjaman dan pembatasan penurunan harga jual sesuai dengan kondisi lokal", kata Zhao Ke, seorang ekonom di China Merchants Securities.
Mengutip Al Jazeera, ikhtiar Tiongkok mengendalikan pasar properti yang terlilit utang telah menjadi tindakan penyeimbang berisiko tinggi: bagaimana menekan sektor tersebut tanpa terlalu keras sehingga bisa membuat pengembang jatuh. Meskipun Beijing telah berusaha mengurangi ketergantungan pada sektor tersebut, pihak berwenang melonggarkan pembatasan pinjaman dan persetujuan rumah untuk menghindari keruntuhan pasar di tengah krisis likuditas.
Kredit bank sedang diluncurkan ke perusahaan properti pada tingkat yang lebih tinggi daripada periode mana pun selama kuartal kedua atau ketiga, menurut data yang dikumpulkan oleh China Beige Book International. Hipotek atau kredit kepemilikan rumah (KPR) pada Oktober meningkat menjadi US$31 miliar dari US$23,5 miliar pada bulan sebelumnya.
Di Chengdu, ibu kota provinsi barat daya Sichuan, para pejabat mempercepat persetujuan untuk penjualan rumah dan pinjaman properti. Sebab, pengembang yang kesulitan keuangan menjadi enggan untuk mengajukan penawaran tanah—yang merupakan sumber pendapatan utama bagi pemerintah kotamadya. Sejumlah kota telah mulai melonggarkan aturan penjualan bidang tanah.
"Beijing ingin memastikan bahwa ada likuiditas yang cukup untuk mempertahankan konstruksi di sektor properti," kata Janz Chiang, seorang analis di Trivium China di Beijing, kepada Al Jazeera. “Tapi itu juga tidak ingin aliran kredit tiba-tiba menjadi mudah—praktik yang telah coba dihilangkan selama bertahun-tahun. Jadi, tantangan mereka adalah mencari tahu di mana titik ajaib antara likuiditas yang cukup dan mencegah inflasi kembali di sektor properti.”
Sementara itu, Sam Xie, kepala penelitian di CBRE China, mengatakan, bahwa sementara ada tanda-tanda bank telah mempercepat persetujuan pinjaman untuk kebutuhan pembiayaan yang wajar, namun dirinya tidak mengharapkan adanya pelonggaran besar pinjaman dalam waktu dekat.
"Sikap kebijakan tetap bahwa perumahan adalah untuk ditinggali, bukan untuk spekulasi, dan kebijakan 'tiga garis merah' bagi pengembang tetap berlaku untuk mengekang spekulasi berlebih di sektor ini," kata Xie.