Pasar IPO Indonesia Tumbuh 70 Persen, Kontra Pelemahan Asia Tenggara

- Pasar IPO global pada semester I 2025 menggapai total modal US$61,4 miliar.
- Kawasan Amerika memimpin dengan 109 IPO, sementara pasar Asia Tenggara mengalami penurunan aktivitas.
- Indonesia melambat pada awal tahun.
Jakarta, FORTUNE - Pasar initial public offering (IPO) Indonesia menunjukkan anomali pada kinerja semester I-2025. Di tengah tren perlambatan di Asia Tenggara, nilai dana yang dihimpun dari IPO di dalam negeri justru melonjak 70 persen secara tahunan (YoY), menandakan pergeseran fokus dari kuantitas ke kualitas emiten.
Temuan ini merupakan bagian dari laporan terbaru Ernst & Young (EY) bertajuk "Global IPO Trends Q2 2025" yang dirilis Rabu (6/8). Menurut laporan tersebut, Indonesia mencatatkan 14 IPO yang berhasil meraup dana sebesar US$428 juta sepanjang paruh pertama tahun ini.
EY Indonesia Financial Accounting Advisory Services Leader, Joe Lai, menilai lonjakan nilai ini terjadi meski jumlah IPO menurun dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
“Meskipun jumlah IPO pada paruh pertama 2025 menurun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, total perolehan dana dari IPO justru meningkat signifikan sebesar US$175,9 juta atau 70 persen (YoY),” ujar Joe dalam keterangan resminya.
Perlambatan aktivitas pencatatan saham di Indonesia dipengaruhi oleh ketegangan geopolitik, ketidakpastian perdagangan, serta transisi kebijakan dalam negeri usai pemilihan presiden. Namun, minat investor terbukti tetap tinggi pada perusahaan dengan fundamental kuat, terlihat dari beberapa IPO pada sektor infrastruktur, kripto, dan logistik yang mengalami kelebihan permintaan.
Kontras dengan kondisi regional
Kinerja positif di Indonesia ini kontras dengan kondisi pasar Asia Tenggara secara umum yang menghadapi hambatan signifikan. Secara total, Asia Tenggara membukukan 48 IPO dengan perolehan dana US$1,4 miliar. Angka ini menunjukkan penurunan jumlah transaksi dari 66 IPO pada periode yang sama pada 2024, meskipun nilai dana yang dihimpun relatif stabil.
Pasar paling aktif di kawasan ini adalah Malaysia dengan 27 IPO senilai US$896 juta, diikuti Indonesia (14 IPO, US$428 juta), dan Thailand (5 IPO, US$27 juta). Sementara Filipina dan Singapura masing-masing hanya mencatatkan satu IPO.
EY Asean IPO Leader, Chan Yew Kiang, menilai perjuangan pasar tidak hanya menyangkut angka. Tren kinerja saham yang cenderung melemah mendorong perusahaan menyesuaikan strategi pencatatan sahamnya.
“Perusahaan cenderung menjual sebagian kecil ekuitasnya saat IPO, baik untuk mempertahankan kendali yang lebih besar selama masa-masa sulit atau karena investor menunjukkan berkurangnya minat untuk melakukan suntikan ekuitas dalam jumlah besar. Pergeseran penting sedang terjadi dalam strategi pencatatan saham, ketika perusahaan-perusahaan regional menjajaki peluang lintas negara,” ujarnya.
Ketahanan pasar IPO global
Di tingkat global, pasar IPO menunjukkan ketahanan dengan total 539 perusahaan melantai yang berhasil mengumpulkan dana US$61,4 miliar. Nilai ini naik 17 persen secara tahunan. Aktivitas IPO lintas negara bahkan mencapai rekor tertinggi, menyumbang 14 persen dari total kesepakatan global.
Kawasan Amerika memimpin dengan 109 IPO, menandai kinerja semester pertama terkuat sejak puncaknya pada 2021. Di sisi lain, Cina dilaporkan mengalami pemulihan, sementara Hong Kong berhasil merebut kembali posisi teratas dalam bursa IPO global dengan peningkatan perolehan dana hingga tujuh kali lipat.
Prospek semester II-2025
Menatap paruh kedua tahun ini, EY memandang ada prospek positif di tengah tantangan yang ada. Joe Lai menambahkan, pendekatan hati-hati dari investor dan calon emiten seharusnya tidak dianggap sebagai hambatan.
“Kami mengantisipasi bahwa investor dan calon emiten akan terus mengambil pendekatan yang lebih hati-hati karena ketidakpastian tentang kapan volatilitas pasar akan mereda,” katanya. Menurutnya, ini adalah kesempatan bagi perusahaan menyempurnakan strategi IPO mereka.
EY menyimpulkan, pemulihan pasar IPO secara global sangat bergantung pada beberapa faktor kunci, termasuk kerangka perdagangan yang lebih kooperatif, kebijakan moneter yang akomodatif, inflasi yang terkendali, dan strategi mencegah eskalasi konflik geopolitik.