Saham Afiliasi Konglomerasi Kini Tuai Minat Ritel, Ini Penyebabnya

Jakarta, FORTUNE - Saham-saham yang terafiliasi dengan para taipan menarik perhatian para investor ritel dalam beberapa waktu terakhir. Mengapa demikian? Akankah momentum ini bertahan dalam jangka waktu panjang?
Head of Investment Solution PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Roger MM menyebut, saat ini sedang terjadi perubahan pola perilaku investor ritel di bursa saham. Berdasarkan analisisnya, nilai transaksi harian bursa bulan ini didongkrak oleh kenaikan harga saham-saham konglomerasi. Contohnya, saham emiten-emiten afiliasi Prajogo Pangestu.
"Di pasar kita dengan adanya saham-saham konglomerasi yang tadi naik [harganya], justru bikin menarik, terutama [untuk ritel]. Karena volatilitasnya lebih enak untuk trading," kata Roger, dikutip Kamis (24/7).
Salah satu katalisnya adalah peluang sejumlah saham emiten konglomerasi untuk masuk ke dalam indeks MSCI pada Agustus 2025. Jika itu terjadi, maka hal tersebut dapat meningkatkan likuiditas saham.
Samuel Sekuritas Indonesia telah memperkirakan beberapa saham yang memenuhi kriteria indeks global tersebut, yakni: BREN, PTRO, dan CUAN; DSSA; serta SSIA. Saham-saham tersebut terafiliasi dengan taipan atau konglomerasi, yakni Prajogo Pangestu, Grup Sinar Mas, dan Grup Djarum.
Namun, di luar sentimen itu, katalis sesungguhnya adalah aksi korporasi yang dinilai menarik. Contoh, Grup Astra yang baru saja mengakuisisi lebih dari 80 persen saham PT Mega Manunggal Property Tbk (MMLP). Kemudian, dari Grup Saratoga, ada PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) yang rencana ekspansinya telah berjalan.
"Pembangunan-pembangunan yang mereka lanjutkan untuk meningkatkan pendapatan mereka sudah mulai selesai, seperti pabrik smelter," kata Roger.
Tren kenaikan saham-saham afiliasi konglomerasi terjadi di tengah valuasi yang dinilai premium. Perihal itu, Roger menilai itu menunjukkan bahwa investor ritel lebih nyaman memilih saham-saham tersebut di tengah kondisi pasar yang sempat bervolatilitas tinggi.
"Nasabah ritel juga melihatnya mereka seperti menjaga sahamnya, begitu. Aksi korporasinya juga banyak. Kemudian mereka melihat IPO CDIA kan, ini juga ARA berkali-kali, kan? Ini masalah kepercayaan di sini," kata Roger. "Jadi adalah hal yang wajar ada shifting sementara ke saham-saham konglomerasi."
Lantas, kira-kira berapa lama fenomena ini akan bertahan? Apakah dalam jangka pendek, menengah, atau panjang? Roger memproyeksi ini tak akan menjadi fenomena jangka pendek. Mengapa? Karena saham-saham tersebut berkaitan dengan aset dan proyek bisnis besar. Mayoritas sahamnya pun berasal dari sektor komoditas seperti tambang.
"Dengan cadangan yang mereka miliki, nikelnya, emasnya, tembaganya, kemudian harganya sekarang masih tinggi. Hanya resesi yang bisa menurunkan harga komoditas," kata Roger.