Ini Dampak Investasi Rp1,8 T INA dan SRF Cina di Kimia Farma
Total nilai investasi INA dan SRF Rp1,86 triliun.
Jakarta, FORTUNE - Suntikan modal Indonesia Investment Authority (INA) dan Silk Road Fund (SRF) asal Cina ke PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dan PT Kimia Farma Apotek (KFA) membuka peluang ekspansi perseroan ke pasar internasional. Nili investasinya berjumlah Rp1,86 triliun.
Nantinya, perseroan akan menggunakan dana itu untuk ekspansi bisnis strategis KFA sekaligus meningkatkan efisiensi operasional melalui Penambahan Modal Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMHMETD).
"Ekspansi tersebut juga dinilai dapat membuka akses Kimia Farma ke ekspertis dari investor global," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, Senin (27/2).
Setelah menyelesaikan transaksi itu, INA dan SRF kini terdaftar sebagai investor strategis KAEF dan KFA, melalui pengambilan bagian atas penerbitan Obligasi Wajib Konversi (OWK) sebanyak 40 persen saham pada KFA. Total nilai aksi korporasi tersebut mencapai Rp333 miliar.
Selain KFA, kedua Sovereign Wealth Fund (SWF) juga memiliki 5 persen KAEF, lewat penerbitan 325 juta obligasi wajib konversi seharga Rp1.025 per saham.
Induk usaha Kimia Farma, Bio Farma, mengalihkan haknya ke entitas anak INA dan SRF, yakni PT Akar investasi Indonesia (AII) dan CIZJ Ltd. Masing-masing hak bernilai Rp150 miliar. Dus, saham milik Bio Farma terdilusi dari 90 persen menjadi 85 persen.
Dampak investasi INA dan SRF bagi Kimia Farma dan sektor kesehatan
Dengan adanya investasi itu, Nico dari Pilarmas menyebut, struktur permodalan Kimia Farma akan menguat. Pun begitu dengan likuiditas perusahaan. Lebih dari itu, perseroan pun berpeluang mendobrak pintu pasar internasional bagi bisnis dan jaringan Kimia Farma, dari sisi ritel dan layanan kesehatan.
Selain itu, penanaman modal itu juga bertujuan mengembangkan industri kesehatan lewat sinergi antara INA dan SRF. Itu merupakan proek utama dari kemitraan antara Indonesia dan Tiongkok di bawah Belt and Road Iniative (BRI). Adapun, BRI merupakan inisiasi pemerintah Tiongkok guna memperkuat pengaruh ekonomi Cina melalui program yang luas dan menyeluruh dalam pembangunan infrastruktur di seluruh negara. Di sisi lain, pemerintah Indonesia bertujuan meningkatkan kualitas sektor ke standar internasional.
"Potensi pasar kesehatan di Indonesia tinggi dan kelas menengah tumbuh dengan pesat, seiring dengan program jaminan kesehatan dari pemerintah melalui BPJS," kata Nico.
Katalis positif di sektor kesehatan, yakni: anggaran kesehatan dari APBN senilai Rp85,5 triliun pada 2023 atau 48 persen. Prioritas programnya meliputi: revitalisasi puskesmas dan posyandu, restrukturisasi rumah sakit dengan bersinergi dengan pemerintah daerah, sistem ketahanan kesehatan, kecukupan SDM kesehatan, memperbaiki sistem pembiayaan kesehatan, mengembangkan program kesehatan berbasis bioteknologi, dan menjangkau teknologi kesehatan baru.
Tujuan itu bisa diraih dengan bantuan jaringan KFA, yang meliputi: lebih dari 1.200 apotek dan 450 klinik dan laboratorium. KAEF pun mempunyai bisnis ritel dan wholesale, serta produksi farmasi. Tapi, pangsa pasarnya masih dominan di domestik. Nico berujar, "Kami melihat memang dari sisi bahan baku farmasi banyak diimpor sehingga meningkatkan kebutuhan pendanaan."
Ditambah lagi, pendapatan KAEF tertekan dari kuartal I hingga kuartal III 2022 karena basis yang tinggi pada 2021. Sepanjang 2022 sendiri, pendapatan KAEF terkoreksi 25 persen, memangkas margin profitabilitasnya hingga 2,54 persen. Laba bersihnya pun merosot 188 persen.
Dari segi leverage, Nico melihat trennya masih terus naik, dengan lonjakan signifikan pada 2017, lalu berlanjut hingga 2019. Sementara itu, saham KAEF diperjualbelikan dengan rasio price to book value (PBV) 0,82 kali, relatif lebih rendah dari industri yang mencapai 6,37 kali.