Jakarta, FORTUNE – Asian Development Bank (ADB) berencana menaikkan alokasi pendanaan untuk mengatasi Perubahan Iklim sampai 55 persen pada 2030, dari sekitar 40 persen saat ini.
Direktur Jenderal Departemen Strategi, Kebijakan, dan Kemitraan ADB, Tomoyuki Kimura, mengatakan tahun lalu lembaga tersebut meningkatkan komitmen perubahan iklim 46 persen dari sumber dayanya sendiri, atau mencapai US$9,8 miliar (sekitar Rp154,03 triliun).
“Ada kekurangan dana yang sangat besar untuk mengatasi perubahan iklim, ketahanan pangan, dan tantangan global lainnya,” ujarnya seperti diberitakan Nikkei, Kamis (29/2).
Perincian 46 persen komitmen ADB ini adalah US$5,5 miliar (Rp86,43 triliun) untuk mitigasi perubahan iklim guna mengurangi emisi gas rumah kaca dan US$4,3 miliar atau Rp67,57 triliun untuk adaptasi terkait berbagai peristiwa cuaca ekstrem yang terjadi.
Menurut laporan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, kebutuhan pendanaan untuk perubahan iklim hingga 2030 akan mencapai US$600 miliar atau Rp9,43 kuadriliun per tahun.
Panel ahli dari G20 mendesak ADB, Bank Dunia, dan bank pembangunan multilateral lainnya untuk memperluas pembiayaan dalam memerangi perubahan iklim yang makin memprihatinkan.
Tujuan baru
Sayangnya, Jepang dan negara-negara Barat memiliki sedikit ruang fiskal untuk memberikan dana tambahan kepada para pemberi pinjaman itu.
Oleh sebab itu, ADB pun mulai menetapkan tujuan baru dalam mendapatkan sumber pendanaan baru yang mencapai US$100 miliar (Rp1,57 kuadriliun) dalam dekade selanjutnya.
ADB, kata Kimura, mulai menata ulang praktik pemberian pinjaman yang biasanya konservatif, agar penggunaan modal menjadi efektif.
ADB diperkirakan akan meningkatkan jumlah maksimum pembiayaan yang tersedia, dari US$25 miliar (Rp393 triliun) menjadi US$35 miliar (Rp550,20 triliun) per tahunnya.
Menurut Kimura, bank berupaya untuk melepaskan modal baru untuk pinjaman dengan menerima jaminan dari negara mitra.
Jaminan sebesar US$3 miliar (Rp47,16 triliun) setara dengan US$15 miliar (Rp235,80 triliun) dalam pembiayaan tambahan.
“Sambil mempertahankan peringkat kredit tertinggi [AAA], kami berupaya memperluas pembiayaan melalui penggunaan modal yang efektif, dengan menilai ulang manajemen organisasi dan dengan memobilisasi dana sektor swasta,” ujarnya.
Suhu global terus naik
Kebutuhan tambahan porsi pembiayaan yang makin besar ini, menurut Kimura, semakin jelas seiring pemanasan di Asia yang melampaui rerata suhu global.
Organisasi Metereologi Dunia melaporkan bahwa suhu di Asia meningkat sekitar dua kali lipat dibandingkan tingkat suhu pada 1991–2022, dibandingkan dengan tiga dekade sebelumnya hingga 1990.
“Pada 2022 saja, perubahan iklim berdampak pada lebih dari 50 juta orang di Asia, dan menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari US$36 miliar,” demikian dikutip dari Nikkei.
Perubahan iklim dan peningkatan cuaca ekstrem seperti badai dan kekeringan berkaitan erat dengan kemiskinan dan kelaparan–dua tantangan lain yang dihadapi pemberi pinjaman multilateral.
PBB memperkirakan 49 juta orang akan menjadi pengungsi akibat perubahan iklim di kawasan Asia-Pasifik pada 2050 dan 40 juta orang di Asia Selatan.