Jakarta, FORTUNE – Teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dianggap mampu mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) di atmosfir, meski berbiaya mahal dan membebani anggaran pemerintah. Namun, CCS bukan satu-satunya cara untuk diterapkan di Indonesia.
Guru Besar Teknik Tenaga Listrik dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof. Atmonobudi Soebagio, memgatakan biaya pengoperasian teknologi CCS akan semakin memberatkan, apalagi jika tidak ada sumber dana pendukung lainnya. “Perlu diketahui, bahwa teknologi CCS hanya menangkap CO2; tidak menghasilkan oksigen (O2),” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Selasa (1/11).
Apalagi, saat ini perekonomian dunia tengah menghadapi dua tantangan yang menimbulkan kebutuhan besar dalam pembiayaan, yakni biaya kesehatan dan sosial yang dapat mempailitkan negara akibat pandemi Covid-19; dan meningkatnya ancaman perubahan iklim, degradasi lingkungan, serta hilangnya keanekaragaman hayati.
“Kegagalan mengatasi salah satu dari krisis ini dengan kuat dan efektif akan melemahkan kemajuan di sisi lain; respon keduanya menjadi global, mendesak dan dalam skala besar,” kata Atmonobudi.
Tak perlu memaksakan diri
Budi mengatakan, sebanyak 14 negara di dunia memang berkomitmen menerapkan CCS untuk mengurangi emisi karbon. Mesji demikian, Indonesia tidak perlu memaksakan diri menggunakannya. Banyak negara yang terpaksa memprioritaskan anggaran belanjanya untuk bidang kesehatan dan bantuan sosial bagi warga negaranya.
“Komitmen Indonesia untuk mengakhiri penggunaan PLTU Batubara sebelum 2050 dan menggantikannya dengan penerapan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan serta ramah lingkungan, merupakan komitmen untuk menurunkan emisi CO2; meskipun tanpa menerapkan teknologi CCS,” ujar Budi.
Solusi penanaman
Budi mengatakan, Indonesia memiliki banyak pulau-pulau besar untuk mendukung pengurangan emisi CO2. Oleh sebab itu, penanaman hutan kembali dan penanaman mangrove bisa jadi solusi untuk menghasilkan oksigen (O2) dalam jumlah besar. “Penanaman mangrove dimaksudkan untuk mencegah abrasi, sebuah proses pengikisan pantai yang diakibatkan oleh gelombang dan arus laut yang dapat merusak,” katanya.
Lewat program ini, biaya untuk mengurangi emisi karbon dapat dikurangi, tanpa menerapkan penerapan teknologi CCS yang berbiaya besar karena proses penyimpanan karbonnya dilakukan dengan meletakkannya di kedalaman bumi.
Injeksi perdana
Sebelumnya, Dirjen Migas, Tutuka Ariadji, mengatakan pemerintah menyambut baik penerapan teknologi CCS yang dilakukan Pertamina melalui injeksi perdana CO2 di Lapangan Pertamina EP Jatibarang Field, Jawa Barat. “Teknologi CCUS menjadi enabler yang mampu meningkatkan produksi migas melalui CO2-EOR sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan,” katanya (26/10).
Penerapan teknologi ini merupakan komitmen Pertamina mendukung program Pemerintah untuk mempercepat transisi energi dan mencapai target penurunan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030 dan Net Zero Emission pada tahun 2060.