Jakarta, FORTUNE – Para pelaku usaha global di Indonesia, yang tergabung dalam Business Coalition for A Global Plastic Treaty (BCGPT), mengungkapkan perjanjian yang mengikat secara Hukum dan mencakup siklus hidup produk plastik merupakan peluang terbaik untuk mengatasi krisis Polusi Plastik di dunia.
Director of Sustainability and Corporate Affairs Unilever Indonesia, Nurdiana Darus, mengatakan bahwa perjanjian mengikat, seperti yang dilakukan melalui Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) bisa lebih optimal daripada sekedar upaya sukarela.
“Perjanjian tersebut penting untuk mengatur sejumlah restriksi, tercapainya tingkat produksi plastik yang berkelanjutan, serta perluasan tanggung jawab produsen atau Extended Producer Responsibility (EPR),” ujarnya dalam keterangan yang diterima Fortune Indonesia, Jumat (22/11).
Salah satu instrumen internasional yang mengikat (ILBI) itu adalah Perjanjian Plastik Global, yang diharapkan menjadi payung perlindungan bagi tumbuhnya ekonomi hijau di berbagai tempat.
ILBI dirancang untuk memastikan tercapainya transisi yang inklusif dan berkeadilan untuk memitigasi risiko yang terjadi selama proses transisi, khususnya dampak terhadap UMKM dan pekerja sektor informal pengelolaan sampah.
Direktur Public Affairs, Communication and Sustainability Coca-Cola Europacific Partners Indonesia (CCEP Indonesia), Lucia Karina, mengatakan bahwa permasalahan sampah plastik di Indonesia harus dilakukan secara komprehensif dari hulu ke hilir oleh berbagai pihak terkait.
“Butuh pendekatan holistik dan kolaboratif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di sepanjang rantai nilai plastik, termasuk pelaku usaha, pemerintah, akademisi, pemuka agama, pemuka masyarakat, media, dan masyarakat, atau dikenal dengan konsep kolaborasi Nona Helix,” kata Lucia.
Di negara berkembang, kerangka kerja sama perlu inklusif dan adaptif terhadap konteks dan budaya lokal, dengan pelibatan aktif sektor informal.
“Pendekatan semacam ini telah menunjukkan hasil positif dalam memperluas pengumpulan sampah dan meningkatkan taraf hidup,” katanya.
Urgensi
Penyebaran polusi plastik memerlukan langkah yang mendesak. United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan setiap hari volume sampah plastik setara 2.000 truk sampah dibuang ke ekosistem perairan, bahkan setiap tahunnya 19-23 juta ton sampah plastik ‘bocor’ mencemari danau, sungai, dan laut.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023 mencatat 76,6 persen sampah berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), di mana 54,4 persen di antara TPA tersebut masih merupakan TPA terbuka.
Selain itu, data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2023 menunjukkan penggunaan plastik di Indonesia meningkat dari 16,74 persen di 2019 menjadi 19,59 persen pada 2023.
BAPPENAS bahkan memperkirakan seluruh TPA di Indonesia tidak akan bisa memenuhi daya dukungnya di tahun 2028 atau bisa lebih cepat. Hal ini diperparah dengan hasil penghitungan Tim Koordinasi Penanggulangan Sampah Laut (TKNPSL) 2020 yang menyebut sampah plastik yang sampai ke lautan mencapai 0,615 juta ton per tahun.
Pemerintah sendiri menargetkan mengurangi sampah laut hingga 30 persen di tahun 2025, dan mengurangi sampah plastik laut hingga 70 persen di tahun 2025, melalui tindakan Reduce-Reuse-Recycle (3R). Sayangnya, data TKNPSL menunjukkan pengurangan kebocoran sampah plastik ke laut baru mencapai 41,68 persen di akhir tahun 2023, dari 651.675 ton (2018) menjadi 359.061 ton (2023).