Jakarta, FORTUNE – Perusahaan produsen pesawat, Boeing, mengaku bersalah atas tuduhan penipuan terhadap Amerika Serikat (AS) terkait jatuhnya dua pesawat 737 Max, dan membuat marah keluarga dari ratusan penumpang yang tewas.
Mengutip Guardian, jaksa federal menemukan Boeing melanggar perjanjian tahun 2021 yang dibuat setelah kecelakaan dan melindungi mereka dari tuntutan selama lebih dari tiga tahun.
“Jaksa federal memberi Boeing pilihan untuk mengajukan pengakuan bersalah dan membayar denda sebagai bagian dari hukumannya atau menghadapi persidangan atas tuduhan kejahatan konspirasi untuk menipu AS atas kecelakaan tersebut, yang merenggut 346 nyawa,” seperti dikutip dari Guardian, Senin (8/7).
Berdasarkan kesepakatan pembelaan baru, yang harus mendapat persetujuan hakim federal di pengadilan Texas, Boeing akan membayar denda US$243,6 juta atau sekitar Rp3,96 triliun (kurs Rp16.268,90 per dolar AS). Perusahaan juga sepakat berinvestasi setidaknya US$455 juta (Rp7,40 triliun), selama tiga tahun ke depan untuk memperkuat program keselamatan dan kepatuhannya.
Juru bicara Boeing mengatakan bahwa perusahaan telah mencapai kesepakatan prinsip mengenai resolusi dengan departemen kehakiman. “Tergantung pada peringatan dan persetujuan persyaratan tertentu,” katanya kepada Guardian.
Rangkaian kecelakaan
Kecelakaan Pesawat Boeing di AS bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, pada Oktober 2018, sebanyak 189 orang tewas ketika Lion Air penerbangan 610 jatuh ke Laut Jawa.
Selain itu, pada Maret 2019, Ethiopian Airlines dengan nomor penerbangan 302 jatuh tak lama setelah lepas landas dari bandara Addis Ababa. Insiden ini menewaskan 157 orang.
Pada 2021, jaksa federal menuduh Boeing melakukan konspirasi untuk menipu pemerintah dengan menyesatkan regulator tentang sistem kontrol penerbangan yang terlibat dalam kecelakaan tersebut.
Namun, Boeing tak jadi dituntut dengan syarat membayar denda dan berhasil menyelesaikan peningkatan pemantauan dan pelaporan selama tiga tahun.
Pada Januari sebuah panel meledakkan sebuah pesawat jet Max saat penerbangan Alaska Airlines, sehingga memaksanya untuk mendarat. Meskipun tidak ada yang terluka, pengawasan terhadap catatan keselamatan Boeing kembali ditingkatkan.
Pada Mei, Departemen Kehakiman juga menemukan perusahaan tersebut telah melanggar perjanjian tahun 2021, sehingga membuka kembali kemungkinan tuntutan.
Masih protes
Dalam perjalanannya, pengakuan bersalah dari Boeing justru mendapatkan ragam tanggapan dari sejumlah keluarga korban kecelakaan Boeing.
Umumnya, mereka mengungkapkan keberatan atas kelonggaran bagi Boeing untuk tidak diawasi dalam persidangan. Paul Cassell, pengacara yang mewakili 15 keluarga korban, meminta hakim untuk, “Menolak permohonan yang tidak pantas ini dan mengajukan kasus tersebut ke pengadilan publik.”
Salah satu pengacara lainnya, Erin Applebaum, mengatakan bahwa keluarga juga mengungkapkan rasa frustrasinya mengenai besarnya denda finansial. “Tanpa denda yang besar, tidak akan ada dampak keselamatan di Boeing,” katanya. “Dendanya seharusnya miliaran, bukan jutaan.”
Keluarga korban marah ketika diberi tahu pada akhir bulan lalu bahwa Boeing akan dapat menunjuk pengawas perusahaannya sendiri untuk mengawasi perusahaan tersebut. Perjanjian pembelaan menjawab kekhawatiran khusus ini, dengan menyatakan bahwa pemerintah akan menunjuk pengawas.
Departemen Kehakiman tidak segera menanggapi permintaan komentar atas keberatan tersebut, mereka mengeklaim bahwa hal tersebut telah memberikan banyak kesempatan kepada pihak keluarga untuk mengekspresikan pandangan. Hal ini termasuk upaya mereka mengambil peran dalam berbagai pertemuan konferensi yang bermakna dan substansial.
Mark Lindquist, pengacara yang mewakili keluarga korban kecelakaan di Ethiopia dan 31 penumpang dari penerbangan Alaska Airlines, mengatakan, “Meskipun banyak dari kita lebih memilih penuntutan yang lebih tegas, pengakuan bersalah atas suatu kejahatan merupakan langkah serius dalam akuntabilitas dari perjanjian awal penuntutan yang ditangguhkan.”