Jakarta, FORTUNE – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) disebut tak memiliki kewenangan menyatakan suatu penyakit menjadi pandemi, apalagi sampai menentukan kapan sebuah negara berstatus endemi.
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan bahwa anggapan bahwa WHO berwenang menentukan status pandemi atau endemi tidaklah mendasar. “Yang ada adalah status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), itu yang jadi regulasi atau konvensinya adalah International Health Regulation (IHR) 2005,” katanya kepada Fortune Indonesia, Kamis (23/2).
Status pandemi pun sebenarnya tidak bersifat formal. Penerapannya akan tergantung pada setiap pemerintah suatu negara. “Tapi, ketika PHEIC dicabut ya otomatis tidak jadi pandemi lagi,” ujarnya.
Tiga tingkatan
Dicky mengatakan terdapat tiga tingkatan yang menunjukkan penyebaran penyakit atau wabah di suatu daerah, yaitu: epidemi, endemi, dan terkendali. “Ketiga status ini sebenarnya dinamis, ada di semua negara. Bahkan, ada di satu negara yang memiliki ketiga status ini, seperti Indonesia,” ujarnya.
Namun, bagaimanapun yang paling baik adalah status terkendali. Meski begitu, penilaian ini seringkali terjadi di tengah keterbatasan atau semakin menurunnya kapasitas test dan penelusuran penyebaran penyakit, sehingga masyarakat dan pemerintah harus tetap waspada jika sewaktu-waktu terdapat kenaikan kasus.
Arah endemi
Dicky optimis bahwa saat ini situasinya sudah memungkinkan penetapan status endemi. Namun, bukan berarti ketika dicabut, lalu masyarakat di setiap negara bebas untuk beraktivitas seolah tak pernah ada pandemi Covid-19. Hal ini dikarenakan penyakit berbasis virus, seperti Covid-19, perlu waktu untuk dinilai secara retrospektif–membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif dengan melihat ke belakang.
Selain itu, bila status PHEIC dari WHO belum dicabut, maka sebuah daerah bisa dikatakan masih berstatus pandemi. “Meskipun status akut dari pandeminya sudah terlewati, karena di beberapa negara indikatornya sudah ke arah endemi,” ujarnya.
Jangan senang endemi
Dicky mengingatkan bahwa status endemi bukan berarti wabah penyakit hilang dari tengah hidup manusia, justru hal ini menunjukkan ketidakmampuan manusia menghilangkan virus tersebut.
Virus seperti Covid-19, kata Dicky, justru akan makin kuat, berevolusi sampai bisa menerobos proteksi imunitas dan berbahaya bagi mereka yang ada dalam kondisi rawan–memiliki penyakit bawaan atau sudah berusia lanjut.
“Itu adalah tanggung jawab pemerintah, tanggung jawab masyarakat, untuk melindungi mereka (kelompok rawan), kalau tidak ya mereka jadi korban. Ingat, kita bisa mencapai tahapan seperti saat ini itu melalui periode di mana kita ‘mengorbankan’ kelompok paling rawan di masyarakat kita, yang meninggal dalam gelombang Delta, Beta, Alpha, dan Omicron awal,” ujar Dicky.
Dampak jangka panjang
Vaksinasi, menurutnya, tak akan mampu melindungi secara optimal bila tak disertai berbagai upaya lain. Perlindungan kualitas udara di dalam maupun luar ruangan, protokol kesehatan, serta kemandirian masyarakat dalam menilai risiko, tetap dibutuhkan, walaupun PPKM sudah dicabut. “Ini masih jadi pekerjaan rumah di Indonesia, bahkan dunia,” katanya.
Bila tidak dilakukan, hal ini akan berdampak penularan lebih serius di masyarakat, apalagi dikaitkan dengan adanya dampak ‘long covid’. “Angka penyakit paru setidaknya 3 kali lebih meningkat, belum di otak dan jantung. Ini yang akan membuat sebagian masyarakat kita sakit-sakitan. Kita keluar dari status pandemi dan kedaruratan, tapi menghadapi ancaman tsunami long covid,” ujar Dicky.