Jakarta, FORTUNE – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, keberadaan food estate bisa menguntungkan bagi para petani. Salah satunyalahan tanam jagung di food estate Keerom yang akan rencananya akan terus dikembangkan sampai 10.000 hektare.
Presiden mengatakan bahwa pasar untuk hasil panen jagung sudah ada, terutama untuk wilayah Indonesia timur. “Sekarang (harga jagung) Rp5.000-Rp6.000 per kilonya. Jadi harganya juga sangat tinggi dibanding HPP (harga pokok produksi), saya kira sudah untungnya besar,” ujarnya saat meninjau food estate Keerom, Kamis (7/7).
Saat ini food estate di Keerom sudah bisa menghasilkan sekitar tujuh ton jagung per hektare, dalam waktu sekitar tiga bulan. Jumlah ini lebih tinggi dari standar nasional yang hanya 5,6 ton per hektare. “Tujuh ton per hektare kali Rp6.000 berarti sudah Rp42 juta per hektare. Hati-hati. Kalau kita punya 1.000 berarti Rp42 miliar, gede banget untuk hanya tiga bulan atau 100 hari,” katanya.
Masih belum optimal
Meski tanah di Keerom subur, Presiden mengakui masih banyak hal yang perlu dibenahi, seperti masalah pengairan. Kondisi terlalu banyak air membuat hasil panen jagung tidak merata, ada yang besar dan berkualitas baik, namun juga masih banyak yang kecil. “Sehingga tadi dievaluasi dari Pak Mentan dan dari Pak Bupati, dari petani, memang paritnya harus lebih dikecilkan jaraknya kira-kira dari 12 [meter] menjadi 5 atau 6 meter,” katanya.
Oleh sebab itu, pada panen berikutnya yang akan berlangsung tiga bulan mendatang, diharapkan bisa lebih optimal. “45 hektare akan panen lagi. Kita enggak usah terlalu langsung ribuan, memang ini perlu tahapan, karena ini tanah baru pertama kali diolah dan digunakan untuk jagung,” ujarnya. "Tak usah ditutupi, memang masih jelek. Tapi yang gede-gede itu, yang bagus juga banyak.”
Petani belum sejahtera
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa, menyebut bahwa persoalan pangan di Indonesia terkait erat dengan kesejahteraan petani. Kebijakan pemerintah seharusnya menjadi kunci untuk menyeimbangkan kebutuhan pangan masyarakat yang besar dengan harga jual berbagai produk pertanian dalam negeri di pasaran.
Adapun, kebijakan pemerintah Indonesia dalam 25 tahun terakhir masih berpihak pada konsumen dengan jargon pangan murah. Keran impor bahan pokok pun dibuka lebih besar dan tak fokus pada peningkatan produksi dalam negeri. “Tergantung political will, nggak usah ada program macam-macam. Persoalannya juga ada di Kementerian Keuangan, berani nggak naikkan tarif impor,” katanya kepada Fortune Indonesia, Rabu (5/7).
Melansir The Food Trade Dependence Index 2022, untuk komoditas jagung, Indonesia hanya bergantung pada impor jagung pipilan kering sebesar 2,90 persen dengan nilai self sufficiency ratio (SSR) sebesar 97,31 persen. Dengan pencapaian ini, sebenarnya Indonesia sudah bisa mencukupi kebutuhan jagung sendiri, Tapi, jagung pipilan kering di Indonesia belum memiliki keunggulan yang komparatif, sehingga masih impor dari Argentina.