Jakarta, FORTUNE – Organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO) serta organisasi untuk kerja sama ekonomi serta pembangunan dunia (OECD), memperkirakan lonjakan harga komoditas gandum global akan menempatkan jutaan orang dalam risiko kekurangan gizi. Situasi ini terjadi akibat perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Sekretaris Jenderal OECD, Mathias Cormann, memproyeksikan bahwa harga gandum pada musim 2022/2023–dimulai pada 1 Juli–dapat melonjak 19 persen di atas harga sebelum perang. Hal ini akan terjadi bila Ukraina kehilangan kapasitas ekspor gandumnya secara penuh.
Sedangkan, bila setengah ekspor gandum Rusia berkurang, maka lonjakan harga bisa mencapai 34 persen lebih tinggi dibanding periode sebelum perang. “Dengan ketahanan pangan yang sudah berada di bawah tekanan, konsekuensinya akan mengerikan, terutama bagi mereka yang paling rentan,” ujar Cormann seperti dilansir dari Reuters, Kamis (30/6).
Kekurangan gizi mengancam 19 juta orang di dunia
Komisi Eropa mengungkapkan, untuk memberi ruang bagi panen tahun ini serta menghindari kekurangan pangan di Afrika, Ukraina harus mengekspor sekitar 20 juta ton biji-bijian pada akhir bulan depan. Mengingat perang Rusia-Ukraina masih belum juga usai, pembicaraan diplomatik sedang berlangsung untuk membuka rute laut alternatif.
Sementara, hasil studi FAO yang mensimulasikan ekspor Rusia ikut terpengaruh, kekurangan gizi akan meningkat sekitar 1 persen secara global pada 2022/23. Angka ini setara dengan sekitar delapan hingga 13 juta orang, tergantung pada asumsi tingkat keparahan pengurangan ekspor.
Simulasi kekurangan ekspor Ukraina yang parah, termasuk juga dampak yang terjadi di Rusia, diperkirakan dapat berlanjut pada musim 2022/2023 dan 2023/2024. Dengan asumsi tidak ada respons produksi global, maka peningkatan jumlah kekurangan gizi dunia bisa berdampak pada sekitar 19 juta orang pada 2023/24.
Peran Rusia dan Ukraina pada rantai pasok gandum dunia
Rusia dan Ukraina saat ini merupakan dua negara yang menjadi pemasok terbesar kebutuhan gandum dunia. Berdasarkan data PBB, Rusia adalah eksportir gandum terbesar yang menyumbang 20 persen penjualan global, sedangkan Ukraina berada pada posisi kelima terbesar dengan sumbangan 10 persen penjualan gandum dunia.
Namun, invasi Rusia ke Ukraina membuat ekspor tersebut terhambat dan rantai pasok global pun terganggu. Laut Azov dan Laut Hitam yang jadi salah satu jalur utama perdagangan pun ditutup. Sementara, ekspor biji-bijian dari Ukraina hanya 20 persen dari kapasitas, karena jalur alternatif–seperti kereta api dan jalan raya–tidak seefisien rute laut.
Kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia
Krisis pangan menjadi kekhawatiran masyarakat dunia saat ini. Presiden Jokowi belum lama ini mengunjungi Ukraina untuk membawa pesan perdamaian, terutama terkait rantai pasok pangan yang terhambat setelah pecah perang Rusia-Ukraina. Indonesia merupakan salah satu importir produk gandum dari Ukraina.
Kepada Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, Jokowi mengatakan bahwa semua usaha harus dilakukan agar Ukraina bisa kembali melakukan ekspor bahan pangan. “Penting bagi semua pihak untuk memberikan jaminan keamanan bagi kelancaran ekspor pangan Ukraina, termasuk melalui pelabuhan laut. Saya mendukung upaya PBB dalam hal ini,” katanya.
Setelah berkunjung ke Ukraina, Presiden Jokowi juga dujadwalkan akan bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, dengan membawa pesan dan semangat perdamaian yang sama.