Jakarta, FORTUNE – Perusahaan obat internasional, Pfizer Inc., telah bersepakat dengan Medicines Patent Pool (MPP)—yang didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)—untuk memungkinkan produsen obat lain membuat pil antivirus COVID-19 dengan komposisi yang sesuai eksperimen mereka.
Kantor berita AP News (16/11) mewartakan Pfizer akan memberikan lisensi pil antivirus mereka ke MPP. Nantinya, lisensi tersebut dapat digunakan di 95 negara yang mencakup 53 persen dari populasi dunia. Namun, hal ini dikecualikan bagi beberapa negara besar yang sudah menderita wabah COVID-19 sangat parah seperti Brasil.
"Cukup signifikan bahwa kami akan dapat menyediakan akses untuk obat yang terbukti efektif dan baru saja atau sedang dikembangkan, untuk digunakan lebih dari 4 miliar orang," kata Esteban Burrone, kepala kebijakan di Medicines Patent Pool.
Kebijakan bebas royalti untuk penjualan di negara berpenghasilan rendah
Berdasarkan ketentuan dalam perjanjian, Pfizer takkan menerima royalti atas penjualan di negara-negara berpenghasilan rendah, termasuk pembebasan royalti atas penjualan di semua negara yang tercakup dalam perjanjian. Hingga kini, COVID-19 tetap berstatus darurat bagi kesehatan masyarakat dunia.
Melansir BBC (16/11), Charles Gore, direktur Medicines Patent Pool, menyatakan lisensi itu sebenarnya penting. "Obat oral ini sangat cocok untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dan dapat memainkan peran penting dalam menyelamatkan nyawa,” ujarnya.
Walau perjanjian bersama MPP mencakup banyak negara berkembang dan berpenghasilan rendah, namun negara seperti Brasil, Tiongkok, Rusia, Argentina, dan Thailand, tidak termasuk di dalamnya.
Ironi di tengah harapan penyelesaian pandemi
Yuanqiong Hu, penasihat kebijakan hukum di Doctors Without Borders, merasa kecewa dengan kesenjangan ini. “Dunia sebenarnya sudah tahu bahwa akses ke peralatan medis dan obat-obatan COVID-19 perlu terjamin dan bisa diakses untuk semua orang, di mana pun, jika kita benar-benar ingin mengendalikan pandemi ini,” katanya dikutip AP News.
Keputusan perusahaan-perusahaan obat seperti Pfizer untuk membagikan paten obat COVID-19 secara luas dinilai bertolak belakang dengan fakta bahwa Pfizer menolak untuk membuka resep vaksin mereka demi produksi lebih luas. Hanya kurang dari 1 persen suntikan vaksin Pfizer yang digunakan di negara-negara miskin.
“Langkah ini juga menimbulkan pertanyaan penting: Jika Pfizer dapat berbagi data dan kekayaan intelektual pada obat, mengapa sejauh ini mereka dengan tegas menolak melakukannya untuk vaksin Covid mereka?” kata Robbie Silverman dari Oxfam America.
Menunggu pengesahan oleh lembaga administrasi obat dan makanan
Sebelumnya, pil Pfizer telah terbukti secara signifikan mengurangi tingkat rawat inap dan kematian hingga 89 persen bagi orang dewasa yang berisiko tertular COVID-19. Food and Drug Administration (FDA) sedang meninjau pil Pfizer dan berharap para produsen obat lain untuk mengajukan otorisasi pil antivirus mereka sendiri dalam beberapa bulan mendatang.
“Kami bergerak secepat mungkin dalam upaya kami untuk mendapatkan pengobatan potensial ini ke tangan pasien, dan kami berharap dapat bekerja sama dengan FDA AS dalam meninjau aplikasi kami,” kata CEO Pfizer, Albert Bourla, dalam pemberitaan AP News (17/11).
Selain Pfizer, FDA juga sedang memproses keputusan bagi pil Merck—sebelumnya sudah mendapat pengesahan dari Inggris. AS pun telah menyetujui satu obat antivirus lainnya, yakni Remdesivir, serta mengesahkan 3 terapi antibody yang membantu sistem kekebalan tubuh dalam melawan virus.