Mengenal Fenomena IOD dan Pengaruhnya Terhadap Ancaman Kekeringan

Ancaman kekeringan saat IOD dan El Nino terjadi bersamaan.

Mengenal Fenomena IOD dan Pengaruhnya Terhadap Ancaman Kekeringan
Ilustrasi musim panas. (Pixabay/stux)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorota Karnawati, mengatakan Indian Ocean Dipole (IOD) yang makin menuju positif akan semakin memperkuat fenomena El Nino, sehingga musim kemarau berpotensi menjadi lebih panjang di Indonesia.

“BMKG juga mendeteksi adanya IOD indeks semakin menguat ke arah positif, yang artinya seperti fenomena yang terjadi di tahun 2019, di mana IOD indeks tersebut mengakibatkan kondisi kering, lebih kering di wilayah Indonesia,” ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (6/6).

Menurutnya, fenomena El Nino dikontrol oleh suhu muka air laut di Samudera Pasifik, sedangkan IOD positif dikontrol suhu muka air di wilayah Samudera Hindia. Kini, keduanya mengarah pada kondisi yang saling menguatkan menuju wilayah yang lebih kering.

Definisi IOD

Mengutip laman resmi BMKG, IOD atau yang bisa juga disebut Dipol Samudera Hindia, merupakan perbedaan suhu permukaan laut antara dua wilayah, yaitu di Laut Arab (Samudera Hindia bagian barat) dan Samudera Hindia bagian timur di selatan Indonesia. Sedangkan El Nino merupakan fenomena pemanasan suhu muka lait di atas kondisi normal yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur. 

IOD dapat secara signifikan memengaruhi pola cuaca dan iklim di wilayah sekitarnya, termasuk sebagian wilayah Afrika, Asia Tenggara, dan Australia. Oleh karena itu, indeks iklim IOD diawasi secara ketat oleh para peramal cuaca, karena dampak fenomena ini terhadap rentang waktu sub-musiman dan musiman.

IOD merupakan suatu fenomena naik turunnya suhu permukaan laut dalam periode tidak teratur. Sayangnya, studi tentang fenomena IOD baru ada sekitar 20 tahun terakhir, dan terhitung belum banyak referensi yang membahas tentang IOD ini.

Terjadinya IOD

World Climate Service menyebutkan, terjadinya IOD didefinisikan oleh Dipole Mode Index (DMI), yang merupakan ukuran gradien anomali suhu permukaan laut (SST) antara Samudra Hindia ekuator bagian barat (50E-70E dan 10S-10N) dan Samudra Hindia ekuator bagian tenggara (90E-110E dan 10S-0N).

Perubahan suhu samudra di Samudra Hindia bagian barat dan Samudra Hindia bagian timur mendorong konveksi dan mengubah sirkulasi Cell Walker. IOD umumnya bergerak sejalan dengan fase Osilasi Selatan El Nino (ENSO), namun ada kalanya dipol dapat muncul dengan sendirinya selama ENSO netral, seperti peristiwa positif kuat pada 2019.

Perbedaan lainnya adalah ENSO biasanya mencapai puncaknya pada musim dingin di Belahan Bumi Utara, sedangkan IOD dapat mencapai puncaknya kapan saja sepanjang tahun.

Oleh sebab itu, dampak IOD tidak hanya dirasakan di daerah tropis, tetapi juga dapat memengaruhi pola cuaca di sebagian besar daerah lintang tengah. Seperti El Nino dan La Nina, IOD berdampak pada daerah yang lebih disukai untuk naik dan turunnya udara di samudra tropis India.

Fase IOD

Melansir climate4life, kompensasi beda suhu muka laut antara pantai timur Afrika dan perairan barat Indonesia maka terbentuk tiga fase Indian Ocean Dipole sebagai berikut:

  1. Fase Netral Indian Ocean Dipole
    Pada fase netral sirkulasi walker di bagian dekat permukaan akan mengalir dari Samudera Hindia ke atas perairan Indonesia karena suhu muka lautnya sedikit lebih hangat. Pusat konvektif berada di atas wilayah benua maritim Indonesia yang membentuk hujan di kawasan tersebut hingga ke wilayah Australia. IOD dalam fase netral jika selisih suhu muka laut antara timur dan barat Samudera Hindia tersebut berkisar -0.5 sampai +0.5 derajat celcius.
  2. Fase Negatif Indian Ocean Dipole
    Pada fase negatif, suhu muka laut di benua maritim Indonesia menjadi lebih hangat dari biasanya. Selisih suhu muka laut antara lautan di pantai timur Afrika dengan lautan di wilayah barat Indonesia akan lebih kecil dari -0.5 derajat celcius. Konsekuensinya sirkulasi Walker baratan menjadi lebih kuat yang kemudian meningkatkan konvektif di atas Indonesia lebih besar dibanding saat fase netral. Peningkatan sistem konvektif tentunya akan meningkatkan curah hujan yang terjadi di atas wilayah Indonesia hingga Australia.
  3. Fase Positif Indian Ocean Dipole
    Pada fase IOD positif, sirkulasi baratan melemah yang memungkinkan kolam panas bergeser ke sebelah barat ke wilayah Afrika. Hal ini akan diikuti dengan berpindahnya pusat konvektif ke wilayah Afrika. Pada saat ini akan terjadi peningkatan curah hujan di kawasan tersebut dan sebaliknya pengurangan curah hujan di kawasan timur Samudera Pasifik.

Demikianlah ulasan tentang fenomena IOD yang bisa memperkuat El Nino di Indonesia, sehingga potensi terjadinya kekeringan pun akan semakin besar.

Related Topics

IODEl NinoKekeringan

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

Most Popular

Prabowo Ingin Memastikan Danantara Sesuai Aturan yang Berlaku
Viral Pertamax Diduga Sebabkan Kerusakan Mesin, Pertamina Minta Maaf
Nike dan Adidas Kehilangan Dominasi di Sepatu Lari
Menteri Perindustrian RI Tolak Proposal Investasi Apple US$100 Juta
MR. DIY Indonesia IPO Desember, Harga Rp1.650–Rp1.870
Unilever Resmi Jual Bisnis Es Krim ke Magnum Rp7 Triliun