Jakarta, FORTUNE – Guru Besar Universitas Kristen Indonesia (UKI) sekaligus pengamat energi, Prof. Atmonobudi Soebagio Ph.D, menilai bahwa tindak lanjut pemerintah dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), sebagai sesuatu yang berisiko dan memiliki beban biaya tinggi untuk dikembangkan.
Atmonobudi mengatakan bahwa tragedi PLTN Fukushima di Jepang, PLTN Three Mile Island di AS, serta bencana yang menimpa PLTN Chernobyl di Ukraina, adalah contoh-contoh bencana besar yang berisiko terjadi bila Indonesia terus bersikeras mengembangkan PLTN sebagai penghasil energi listrik.
“Apa pun penyebabnya, bencana PLTN akan membebani perusahaan pemiliknya berupa pengeluaran biaya yang sangat besar, karena harus menjalani tiga tahapan proses yang cukup panjang, yaitu Nuclear Decommissioning, Waste Management, dan Environmental Site Remediation, yang seluruh biayanya akan diperhitungkan pada tarif listrik,” ujar Atmonobudi kepada Fortune Indonesia, Senin (15/4).
Bila sampai terjadi, kata Atmonobudi, proses penyimpanan limbah nuklir harus bebas dari risiko kebocoran radioaktif, karena half life–interval waktu yang diperlukan untuk separuh dari sebuah partikel radioaktif mengalami peluruhan radioaktif–partikelnya, yang selama puluhan tahun masih membahayakan keselamatan dan cacat genetika pada manusia.
Langkah pemerintah
Rencana pembangunan PLTN sudah masuk dalam revisi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Pemerintah saat ini sedang menyelesaikan bentuk organisasi yang mengordinasikan PLTN di dalam negeri atau Organisasi Pelaksana Program Energi nuklir (Nuclear Energy Program Implementing Organization/NEPIO).
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengatakan bahwa sejumlah investor telah menunjukkan minatnya untuk berinvestasi pada pengembangan nuklir di dalam negeri.
“Ada beberapa setahu saya sudah ada Thorcon menginisiasi tipe SMR, terus Rusia, jadi ada beberapa yang sudah mulai masuk tapi kita pastikan dulu organisasinya,” katanya kepada media, Senin (25/3).
Pemerintah sendiri mempercepat target operasi komersial PLTN dari 2039 menjadi 2032. Rencana ini terangkum dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang dirampungkan Dewan Energi Nasional (DEN) pada akhir 2023.
Sejalan dengan ini, Eks Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto, mengemukakan bahwa energi nuklir merupakan keniscayaan bagi Indonesia jika ingin mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Solusi
Bertentangan dengan rencana percepatan PLTN dari pemerintah, Prof. Atmonobudi dari UKI berpendapat bahwa Indonesia semestinya tetap mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan menjadi energi listrik.
“Apalagi, Presiden Joko Widodo pernah mengatakan bahwa negara baru mempertimbangkan ke PLTN, jika seluruh potensi energi terbarukan Indonesia telah dimanfaatkan secara maksimal,” ujarnya.
PLTN yang dimaksud ini pun, menurut Atmonobudi, adalah jenis PLTN berteknologi terbaru yang ramah lingkungan dan tidak meninggalkan limbah radioaktif.
“PLTN baru tersebut menggunakan teknologi reaksi fusi yang tidak meninggalkan limbah berbahaya, karena deuterium dan tritium yang berasal dari hidrogen tetap berada di dalam toroidal vakum,” katanya.
Alih-alih berpikir untuk fokus pada PLTN, Atmonobudi menegaskan dorongannya pada penggunaan berbagai sumber potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia, mulai dari matahari, angin, geothermal, gelombang laut, perbedaan suhu permukaan dan dasar laut, sampai potensi laut menghasilkan gas hidrogen melalui elektrolisa berskala industri.
“Dengan memanfaatkan potensi tersebut, kita tidak perlu berpikir kembali untuk menggunakan PLTN Fisi yang sangat berisiko. Hingga Desember 2023, kapasitas daya terpasang pembangkit listrik Indonesia adalah sebesar 72,977 Gigawatt (GW) dan mayoritas daya tersebut masih bergantung pada PLTU berbasis batubara yang sangat polutif,” ujar Atmonobudi.
Hal ini, menurutnya, bisa dimaksimalkan dengan pemanfaatan Smart Grid berbasis Artificial Intelligence (AI). “Fungsi otomatisasi digunakan untuk konfigurasi ulang jaringan otomatis, ketika terjadi kegagalan saluran dalam upaya meminimalkan jumlah konsumen yang terkena dampak,” kata Atmonobudi.
Ia menegaskan bahwa dengan pemanfaatan AI pada sistem jaringan cerdas, efektivitas penyaluran daya listrik dan pengendalian distribusi dayanya akan semakin baik dan andal. Hal ini terutama dalam mendukung terbentuknya smart cities di Indonesia yang energi listriknya berasal dari sumber-sumber energi terbarukan yang potensinya sangat berlimpah di Indonesia.